Senpai, Saya Ingin jadi Pilot (3)

Selasa



Senpai, Saya Ingin jadi Pilot (3)

Penuh perjuangan aku mengajarinya dengan menelan semua ketidaksabaranku. Dengan kesungguhan pula dia berusaha menyerap apa yang aku sampaikan. Orang Jepang sangat paham bahwa menggunakan waktu orang lain dan merepoti orang lain, apalagi senior, adalah hal yang sangat tidak menyenangkan.

"Yani-san, kata Chijiwa-sensei (nama salah seorang asisten profesor), saya akan kehilangan seluruh waktu tidur saya, bahkan untuk bernafas pun saya akan kesulitan karena tugas ini banyak". Dia berkata sambil menggulung kabel-kabel.

"Bagus kalau kamu paham, saya juga akan menekanmu supaya lari lebih kencang lagi. Saya hanya akan mengajari sekali ini saja dan kamu hari ini masih jadi pendamping. Ini tidak berlaku buat besok, karena kamulah yang jadi pekerja utama, saya yang mendampingi. Jadi perhatikan semua dengan seksama, pahami dan tanyakan apa yang belum dimengerti, saya tidak akan mengulangi lagi." Aku berkata perlahan tapi tegas.

"Haik, wakarimashita!" dia mengangguk pasti.

Melihat dari sorot matanya, aku yakin pelajaran hari ini semua dipahami seluruhnya. Hmm.. memang mahasiswa unggulan yah rupanya. Kita lihat saja nanti, kataku dalam hati.

Minggu berikutnya, dia memberikan presentasi rencana eksperimennya di saat rapat lab mingguan. Cepat sekali dia menangkap urutan pekerjaan yang aku sampaikan walaupun aku yakin dia belum paham dasar teorinya. Sampai di sini, cukuplah dia berfungsi sebagai pekerja, bukan peneliti.

Tapi itu tidak penting saat ini, waktu kami tidak banyak. Banyak peserta rapat yang menyalahkan hasil hitungannya. Dia bertahan bahwa apa yang ditulis sudah benar, karena ukuran yang dipakai berdasarkan hasil eksperimenku. Dia tampak sangat kesal.

"Tuh kan Yani-san, hitungan saya benar, orang-orang tidak percaya, mereka sangka karena saya tidak pernah mengerjakan eksperimen, saya pasti tidak bisa menghitung volume semen. Saya ini cerdas, saya ini pilot, saya tidak mungkin salah". Dia terus menyerocos sambil mengiringu keluar ruangan rapat.

Aku menghentikan langkahku.

"Pilot? Apa ini? Memangnya pilot tidak pernah salah, dan pilot kalau sudah sombong pesawatnya bisa jatuh. Orang kalau sombong pasti akan banyak salahnya, jadi perbaiki saja apa yang salah, jika benar ya sudah, kita tidak punya banyak waktu untuk mengeluh!" Aku menyahut sambil menatap matanya lurus.

Dia tertunduk.

"Yani-san kamu benar, tapi memang saya ini pilot, kamu tidak percaya ya. Saya sudah dapat ‘licence’ dari ANA untuk jadi penerbang internasional. Saya dapatkan di Swiss empat tahun lalu dan tidak mudah. Saya juga satu-satunya yang bisa lulus ujian akhir universitas sedangkan 5 orang yonensei lainnya tidak lulus sehingga mereka harus tertahan di universitas untuk melanjutkan master.

Jadi kalau saya tidak bisa selesaikan skripsi saya, saya bisa batal jadi pilot, karena kontrak saya sudah jelas di musim semi ini . Kalau gagal, itu bisa mengakhiri seluruh harapan hidup saya. Kamulah harapan saya, Yani-san. Saya berjanji menjadi kohai yang baik, saya janji menurut semua perintahmu."

Dia berkata sungguh-sungguh.
Memang banyak orang bilang kalau di universitas ini ujian keluarnya sangat sulit, apalagi ujian masuknya. Aku percaya padanya.

Aku terdiam, kemudian berusaha mencairkan suasana kaku itu.

" Hoi, apapun yang terjadi, saat ini saya tidak berani naik pesawat ANA, karena pilotnya kayak gini. Bahaya, nggak aman. Kalau pekerjaanmu tidak memuaskan, saya akan mencari maskapai lain, meskipun kamu kasih tiket gratis. Kalaupun memuaskan, jika saya memilih ANA, saya tanya dulu siapa pilotnya. Begitu saya dengar nama Naoki Kitamura, saya langsung turun dari pesawat dan minta ganti rugi."

Dia tertawa terbahak-bahak.

"Kenapa semua orang kejam pada saya, semua berkata hal yang sama, baiklah saya akan berusaha meyakinkan kalian. Saya juga akan memberi tiket khusus jika Yani-san yang jadi penumpang saya."

Aku tersenyum, "My dear kohai, saya tidak butuh tiket pesawat, saya hanya perlu bukti kalau kamu mampu kerjakan ini tepat waktu, itu saja."

Dia mengangguk sambil berkata: "Yani-san lah dora emon karena semua yang saya tanyakan pasti bisa dijawab."

Aku terbahak-bahak "Ah dasar Nobita, pemalas, tukang mengeluh, menyebalkan, berisik!"

Hari-hariku diawali pagi hari karena harus mengawasinya bekerja, siap menjawab pertanyaannya tentang alat ini itu dan juga pulang larut malam karena harus mereview apa yang sudah dia kerjakan. Aku seperti memiliki beban berton-ton di kepalaku. Aih sensei, kenapa harus aku, ambisi grup risetmu untuk bisa merubah peraturan di Jepang sudah sangat menyiksaku.

Aku jenuh dan ingin pulang saja ke Indonesia. Lelah lahir dan batin. Aku juga semakin tertekan setelah tahu banyak paper yang aku berikan pada Kitamura tidak dibacanya sama sekali. Sering kali aku bahkan memarahinya karena kesal dan frustasi. Sensei pun tidak henti memberikan tugas pengecoran tambahan ini dan itu padanya, yang artinya tugasku semakin bertambah saja.

" Aduh Kitamura-kun, kamu ini bagaimana, settingmu itu kan nggak sesuai dengan tujuan eksperimen. apa yang mau kamu ukur? Haduuuuh...dulu itu paper yang saya kirimkan ke emailmu kok tidak dibaca? Alasan apalagi? Bahasa Inggris? Nggak bisa! Pilot bahasa Inggrisnya kan bagus, kamu baca malam ini. Besok kita diskusikan, jangan minum bir, awas kalau kamu kesiangan besok, saya tidak bisa lagi membantu, eksperimen saya juga masih kacau nih, belum lagi paper yang harus saya buat untuk sensei."

Sering kali kata "pilot" menjadi senjataku untuk menghajarnya, jika frustasiku datang.
Dia tidak pernah mengeluh tapi aku tahu dia sudah tertekan. Sayangnya, anak ini jiwanya bebas laksana burung, kadangkala masih bandel dan mengendap-endap masuk ke ruangan karena kesiangan. Setelah itu berpura-pura sibuk mengerjakan hal yang tidak penting, sekedar menghindari tatapan mataku.

Di bulan Januari, saat musim dingin semakin menekan, aku jatuh sakit tepat di hari ulang tahunku. Paperku untuk konferensi internasional tentang beton, kubuat dengan sisa tenaga yang ada. Sensei, sang associate tahu kalau aku sedang sakit, tapi ‘deadline’ laporanku sudah dekat. Lantas, apa katanya? "Yani-san, saya tidak melihatmu serius bekerja, coba kamu lebih fokus lagi!"

Semua warna di bulan Januari menjadi abu-abu. I hate winter. Kalimat itu muncul lagi di status facebook-ku, diikuti acungan jempol teman se-labku dari Mesir.

Sabar dan sholat, itulah penolongku. Aku berusaha bersabar dan mencurahkan semua kesulitanku kepada-Nya, agar semua lebih terasa ringan. Kitamura mengerti kesulitanku, dia menjadi semakin mandiri tapi juga masih belum banyak memahami inti dari pekerjaannya. Aku semakin lelah mengajarinya untuk memahami dasar teori penelitiannya.

"Saat kemarau, air yang tersedia tidak banyak, semua kehausan. Beberapa Dora emon yang bertubuh besar berebut air, tapi tiba-tiba datanglah Nobita kecil-kecil yang lebih gesit mengambil airnya. Dora emon terdesak, tapi sebagian Nobita yang lain juga kehausan. Akibatnya air semakin berkurang dan akhirnya mereka berebut, banyak yang terluka dan banyak yang sobek bajunya. Itulah yang terjadi pada beton yang disusupi slag, material tambahan yang lebih halus daripada semen.

Jika air dalam campuran beton dikurangi, semen yang ditambahi slag akan sangat kekurangan air. Timbul retak yang tidak diinginkan. Retak ini bahaya sekali. Dora emon adalah semen dan Nobita adalah slag-nya. Terlalu banyak Nobita akan menyusahkan Dora emon. Retak karena penyusutan itu lah yang jadi inti dari penelitianmu. Mengerti kamu, Kitamura-kun?" Entah mengapa karena frustasi aku menerangkan dengan cara seperti ini.

Kitamura melongo sebentar, kemudian tersenyum.
"Saya belum pernah merasa otak saya secerah ini, Yani-san benar-benar sensei yang hebat!"

Aku menarik nafas dalam, lega, alhamdulillah.

"Ya, tapi jangan ceritakan teori Dora emon-Nobita ini saat sidang defense-mu nanti ya, awas! Kamu baca lagi papernya dan terangkan menurut teori yang sesungguhnya, jika tidak orang akan curiga otakmu mengalami penyusutan seperti spesimen kita."

Saat dia harus menganalisa hasil eksperimennya, tidak luput hampir setiap hari aku memarahinya. Kadang-kadang kawan di sampingku, Oh, sampai mengingatkan, "Yani-san, tumben hari ini kamu belum uring-uringan, hehe.. kamu itu kok kayak mami yang super baik ya, Yani-san!"

"Kitamura-kun, ini sudah malam, kamu pun dari tadi belum makan. Ini saya berikan saja filenya, tidak perlu kamu kerjakan semua, saya akan membantu analisa sebagian grafik, toh itu ada kaitannya dengan riset saya."

Aku sedih melihat sorot matanya yang sudah kuyu dan lelah.
"Terima kasih Yani-san, ini tugas saya. Tidak apa-apa. Meskipun lambat, karena baru belajar menganalisa, saya akan mengerjakan tugas saya."

Dia tidak mau dibantu dan tidak mau mencontek pekerjaanku, meskipun aku menawarkan. Jujur dan pantang menyerah, bagus, bagus, go Nobita go, aku berbisik Kami semua di ruangan itu sudah lelah. Banyak yonensei yang begadang juga mendekati sidang akhir.

Tiba saatnya dia harus menjelaskan hasil analisanya pada sensei. Wajahnya cerah saat kembali dari ruangan sensei.

"Yani-san, you are my hero..hontou..you are the real dora emon. Berkat penjelasanmu, sensei puas dan saya diperbolehkan ikut sidang akhir".

Duh Gusti... alhamdulillah .. alhamdulillah ...alhamdulillah. Doaku saat ini sudah diralat. Ya Allah, kirimkan mahasiswa seperti ini padaku, amin.

Pagi itu, aku tidak bisa menunggui para yonensei sidang akhir karena kesibukanku mempersiapkan graduation ceremony yang diselenggarakan the Hitachi Scholarship Foundation, penanggungjawab beasiswaku. Harapan dan doaku tetap bersama mereka. Aku bisa datang setelah waktu sholat dhuhur. Beberapa sidang yonensei sudah selesai, termasuk si Nobita.

Siang hari aku baru sampai di lab. Kitamura masuk ke ruangan, terus tersenyum padaku dan menyapaku, sementara aku cepat menyahut seperti emak yang panik dengan hasil ujian anaknya.

"Konnichiwa Kitamura-kun, doudeshitaka?"

Aku penasaran dengan hasil sidangnya.
Agak tercekat suaranya dia berkata: "Yokatta Yani-san, semua berkat kamu, semua karena kamu saja satu-satunya, ichiban yasashii senpai, sekarang saya bisa terbang, saya bisa ke angkasa. Kamu sudah mengirim saya terbang, Kamu memberi saya sayap. Terima kasih. Doumo arigatou gozaimashita." Berulang-ulang dia menunduk formal, sampai aku berdiri dari kursiku dan membalas: "iie..nggak perlu gitu, douitashimashite..sudah ah.. selamat ya, Nobita."

Masih saja dia membungkuk dan aku tahu dia menahan tangis. Segera sekelebatan aku teringat saat-saat berat membimbingnya, mataku ikut basah. Ayolah, masa mau tangis-tangisan di lab, aku menyadarkan diri sendiri.

"Aaah.. iya saya ingat. Kamu janji kan kasih saya tiket spesial? nah bagaimana kalau suatu saat nanti saat saya naik pesawat kebetulan pilotnya kamu, saya boleh kan ya masuk ke kabin? foto-foto di atas udara? juga dengan pilot dan co-pilotnya?"

Dia menarik napas dan menyahut: "Boleeeeh, Yani-san bilang saja ke pramugarinya, kasih kertas sampaikan ke saya nanti kami panggil ke kabin." Aku tertawa.
"Wah saya juga ingin dong punya foto pura-pura jadi pilot gitu, pegang setirnya".

Dia merengut. "Apapun selama ini saya turuti Yani-san, karena kamu yang terbaik di riset ini, tapi kalau sudah di kabin, kamu yang harus nurut dengan saya, maaf ya!"
Semua mahasiswa di ruangan itu tertawa. Dia bangga sudah bisa memberikan hadiah buat ibundanya di rumah, menjadi pilot, cita-cita ibunya sejak kecil. Ambisi ibunda yang menjadi mimpi sang anak.

"Kitamura-kun, sepertinya kamu bakal terkenal di Indonesia. Di facebook saya banyak sahabat yang menyampaikan selamat atas kelulusanmu".

Kami tertawa.

"Iya Yani-san, saya ingin terus pergi ke Bali, saya suka Bali."

Saat acara nomikai (pesta minum bir) menyambut berakhirnya sidang akhir, tentu saja aku tidak hadir. Aku dengar si Nobita menangis tersedu-sedu tidak tertahankan waktu memberikan sambutannya, karena terharu bisa menyelesaikan risetnya tepat waktu. Beruntung memang aku tidak hadir. Aku tahu aku sangat cengeng.

Hasil eksperimennya saat ini sudah aku kombinasikan dengan hasil analisaku untuk menjadi persamaan khusus hubungan antara retak dan kekuatan beton karena pengaruh tambahan slag, material buangan dari pabrik baja. Persamaan itu aku sampaikan di halaman terakhir disertasiku di chapter 3. Inilah persamaan hasil kerjasama antara si Galak Mami Dora emon dan si Berisik Nobita.

Dua minggu sudah berlalu. Tiba saatnya seluruh anggota lab mempersembahkan sebuah lembar kertas berbingkai tempat kami menulis pesan. Saat itu, beberapa mahasiswa memberikan kalimat bernada canda atau lecutan semangat pada calon wisudawan. Buat Kitamura, aku menggambarkan pesawat dengan dua bendera: hinomaru dan merah-putih mengangkut topi toga sambil mengudara. Aku tuliskan pesan: Dear my little brother, see you soon in this airplane!

Yani-san, we are friends forever, begitu balasan sms-nya padaku.

Aku berharap bisa memiliki mahasiswa seperti ini, tetapi belum berani berharap lulusan teknik sipil ITS menjadi pilot pesawat Garuda.

Do not judge a book by its cover. Ini memang benar dan sudah terjadi padaku. Aku sudah meralat doaku dan semoga Allah mengabulkan ralatnya. Amin.

(selesai)



Artikel Lainnya



0 komentar to “Senpai, Saya Ingin jadi Pilot (3)”

Bebas Berkomentar..