Dr. Yusuf Qardhawi    
PERTANYAAN
        Saya  menikah dengan seorang laki-laki yang usianya lebih tua daripada saya  dengan selisih lebih dari dua puluh tahun. Namun, saya tidak menganggap  perbedaan usia sebagai penghalang yang menjauhkan saya daripadanya atau  membuat saya lari daripadanya. Kalau dia memperlihatkan wajah, lisan,  dan hatinya dengan baik sudah barang tentu hal itu akan melupakan saya  terhadap perbedaan usia ini. Tetapi sayang, semua itu tak saya peroleh.  Saya tidak pernah mendapatkan wajah yang cerah, perkataan manis, dan  perasaan hidup yang menenteramkan. Dia tidak begitu peduli dengan  keberadaan saya dan kedudukan saya sebagai isteri.
        Dia  memang tidak bakhil dalam memberi nafkah dan pakaian, sebagaimana dia  juga tidak pernah menyakiti badan saya. Tetapi, tentunya bukan cuma ini  yang diharapkan oleh seorang isteri terhadap suaminya. Saya melihat  posisi saya hanya sebagai objek santapannya, untuk melahirkan anak, atau  sebagai alat untuk bersenang-senang manakala ia butuh bersenang-senang.  Inilah yang menjadikan saya merasa bosan, jenuh, dan hampa. Saya  merasakan hidup ini sempit. Lebih-lebih bila saya melihat teman-teman  saya yang hidup bersama suaminya dengan penuh rasa cinta, tenteram, dan  bahagia.
            Pada suatu  kesempatan saya mengadu kepadanya tentang sikapnya ini, tetapi dia  menjawab dengan bertanya, "Apakah aku kurang dalam memenuhi hakmu?  Apakah aku bakhil dalam memberi nafkah dan pakaian kepadamu?" Masalah  inilah yang ingin saya tanyakan kepada Ustadz agar suami isteri itu  tahu: Apakah hanya pemenuhan kebutuhan material seperti makan, minum,  pakaian, dan tempat tinggal itu saja yang menjadi kewajiban suami  terhadap isterinya menurut hukum syara'? Apakah aspek kejiwaan tidak ada  nilainya dalam pandangan syari'at Islam yang cemerlang ini? Saya,  dengan fitrah saya dan pengetahuan saya yang rendah ini, tidak percaya  kalau ajaran Islam demikian. Karena itu, saya mohon kepada Ustadz untuk  menjelaskan aspek psikologis ini dalam kehidupan suami isteri,karena hal  itu mempunyai dampak yang besar dalam meraih kebahagiaan dan  kesakinahan sebuah rumah tangga.
  Semoga Allah menjaga Ustadz.
    JAWABAN
        Apa  yang dipahami oleh saudara penanya berdasarkan fitrahnya dan  pengetahuan serta peradabannya yang rendah itu merupakan kebenaran yang  dibawakan oleh syari'at Islam yang cemerlang. Syari'at mewajibkan kepada  suami untuk memenuhi kebutuhan isterinya yang berupa kebutuhan material  seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan sebagainya,  sesuai dengan kondisi masing- masing, atau seperti yang dikatakan oleh  Al Qur'an "bil ma'ruf" (menurut cara yang ma'ruf/patut) Namun, Syari'at  tidak pernah melupakan akan kebutuhan-kebutuhan spiritual yang manusia  tidaklah bernama manusia kecuali dengan adanya kebutuhan-kebutuhan  tersebut, sebagaimana kata seorang pujangga kuno: "Maka karena jiwamu  itulah engkau sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu."
      Bahkan  Al Qur'an menyebut perkawinan ini sebagai salah satu ayat diantara  ayat-ayat Allah di alam semesta dan salah satu nikmat yang diberikan-Nya  kepadA hamba-hamba-Nya. Firman-Nya: "Dan diantara tanda-tanda  kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu  sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan  dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang  demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."  (Ar Rum: 21)
    Ayat  ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup bersuami isteri ialah  ketenteraman hati, cinta, dan kasih sayang antara keduanya, yang semua  ini merupakan aspek kejiwaan, bukan material. Tidak ada artinya  kehidupan bersuami isteri yang sunyi dari aspek-aspek maknawi ini,  sehingga badan berdekatan tetapi ruh berjauhan. Dalam hal ini banyak  suami yang keliru - padahal diri mereka sebenarnya baik - ketika mereka  mengira bahwa kewajiban mereka terhadap isteri mereka ialah memberi  nafkah, pakaian, dan tempat tinggal, tidak ada yang lain lagi. Dia  melupakan bahwa wanita (isteri) itu bukan hanya membutuhkan makan,  minum, pakaian, dan lain-lain kebutuhan material, tetapi juga  membutuhkan perkataan yang baik, wajah yang ceria, senyum yang manis,  sentuhan yang lembut, ciuman yang mesra, pergaulan yang penuh kasih  sayang, dan belaian yang lembut yang menyenangkan hati dan menghilangkan  kegundahan.
    Imam  Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami isteri dan adab pergaulan  diantara mereka yang kehidupan berkeluarga tidak akan dapat harmonis  tanpa semua itu.
  Diantara  adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah itu ialah  berakhlak yang baik terhadapnya dan sabar dalam menghadapi godaannya.  Allah berfirman: "... Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan cara  yang ma'ruf (patut) ..., An Nisa': 19)
    "... Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat." (An Nisa': 21 )
    "...  Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat,  anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga  yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu ...." (An Nisa:  36)
        Ada  yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "teman sejawat" dalam ayat  di atas ialah isteri. Imam Ghazali berkata, "Ketahuilah bahwa berakhlak  baik kepada mereka (isteri) bukan cuma tidak menyakiti mereka, tetapi  juga sabar menerima keluhan mereka, dan penyantun ketika mereka sedang  emosi serta marah,sebagaimana diteladankan Rasulullah saw. Isteri-isteri  beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi perkataan,  bahkan pernah ada pula salah seorang dari mereka menghindari beliau  sehari semalam. Beliau pernah berkata kepada Aisyah, "Sungguh, aku tahu  kalau engkau marah dan kalau engkau rela." 
  Aisyah  bertanya, "Bagaimana engkau tahu?" Beliau menjawab, "Kalau engkau rela,  engkau berkata, 'Tidak, demi Tuhan Muhammad,' dan bila engkau marah,  engkau berkata, 'Tidak, demi Tuhan Ibrahim.' Aisyah menjawab, "Betul,  (kalau aku marah) aku hanya menghindari menyebut namamu."
        Dari  adab yang dikemukakan Imam Ghazali itu dapat ditambahkan bahwa  disamping bersabar menerima atau menghadapi kesulitan isteri, juga  bercumbu, bergurau,dan bermain-main dengan mereka, karena yang demikian  itu dapat menyenangkan hati wanita. Rasulullah saw. biasa bergurau  dengan isteri-isteri beliau dan menyesuaikan diri dengan pikiran mereka  dalam bertindak dan berakhlak, sehingga diriwayatkan bahwa beliau pernah  melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.
    Umar  r.a. - yang dikenal berwatak keras itu - pernah berkata, "Seyogyanya  sikap suami terhadap isterinya seperti anak kecil, tetapi apabila  mencari apa yang ada disisinya (keadaan yang sebenarnya) maka dia adalah  seorang laki-laki."
          Dalam  menafsirkan hadits: "Sesungguhnya Allah membenci alja'zhari  al-jawwazh," dikatakan bahwa yang dimaksud ialah orang yang bersikap  keras terhadap isteri (keluarganya) dan sombong pada dirinya. Dan ini  merupakan salah satu makna firman Allah: 'utul. Ada yang mengatakan  bahwa lafal 'utul berarti orang yang kasar mulutnya dan keras hatinya  terhadap keluarganya. Keteladanan tertinggi bagi semua itu ialah  Rasulullah saw. Meski bagaimanapun besarnya perhatian dan banyaknya  kesibukan beliau dalam mengembangkan dakwah dan menegakkan agama,  memelihara jama'ah, menegakkan tiang daulah dari dalam dan memeliharanya  dari serangan musuh yang senantiasa mengintainya dari luar, beliau  tetap sangat memperhatikan para isterinya. Beliau adalah manusia yang  senantiasa sibuk berhubungan dengan Tuhannya seperti berpuasa, shalat,  membaca Al-Qur'an, dan berzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak  karena lamanya berdiri ketika melakukan shalat lail, dan menangis  sehingga air matanya membasahi jenggotnya.
    Namun,  sesibuk apa pun beliau tidak pernah melupakan hak-hak isteri-isteri  beliau yang harus beliau penuhi. Jadi, aspek-aspek Rabbani tidaklah  melupakan beliau terhadap aspek insani dalam melayani mereka dengan  memberikan makanan ruhani dan perasaan mereka yang tidak dapat terpenuhi  dengan makanan yang mengenyangkan perut dan pakaian penutup tubuh.  Dalam menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau dalam mempergauli  isteri, Imam Ibnu Qayyim berkata:
  "Sikap  Rasulullah saw. terhadap isteri-isterinya ialah bergaul dan berakhlak  baik kepada mereka. Beliau pernah menyuruh gadis-gadis Anshar menemani  Aisyah bermain. Apabila isterinya (Aisyah) menginginkan sesuatu yang  tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya. Bila Aisyah minum  dari suatu bejana, maka beliau ambil bejana itu dan beliau minum  daripadanya pula dan beliau letakkan mulut beliau di tempat mulut Aisyah  tadi (bergantian minum pada satu bejana/tempat), dan beliau juga biasa  makan kikil bergantian dengan Aisyah."
      Beliau  biasa bersandar di pangkuan Aisyah, beliau membaca Al Qur'an sedang  kepala beliau berada di pangkuannya. Bahkan pernah ketika Aisyah sedang  haidh, beliau menyuruhnya memakai sarung, lalu beliau memeluknya.  Bahkan, pernah juga menciumnya, padahal beliau sedang berpuasa. Diantara  kelemah-lembutan dan akhlak baik beliau lagi ialah beliau  memperkenankannya untuk bermain dan mempertunjukkan kepadanya permainan  orang-orang Habsyi ketika mereka sedang bermain di masjid, dia (Aisyah)  menyandarkan kepalanya ke pundak beliau untuk melihat permainan  orang-orang Habsyi itu. Beliau juga pernah berlomba lari dengan Aisyah  dua kali, dan keluar dari rumah bersama-sama.
    Sabda  Nabi saw: "Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap  keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku."
    Apabila  selesai melaksanakan shalat ashar, Nabi senantiasa mengelilingi  (mengunjungi) isteri-isterinya dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan  bila malam tiba beliau pergi ke rumah isteri beliau yang pada waktu itu  tiba giliran beliau untuk bermalam. Aisyah berkata, "Rasulullah saw.  tidak melebihkan sebagian kami terhadap sebagian yang lain dalam  pembagian giliran. Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya,  yaitu mendekati tiap-tiap isteri beliau tanpa menyentuhnya, hingga  sampai kepada isteri yang menjadi giliran beliau, lalu beliau bermalam  di situ."1
    Kalau  kita renungkan apa yang telah kita kutip disini mengenai petunjuk Nabi  saw. tentang pergaulan beliau dengan isteri-isteri beliau, kita dapati  bahwa beliau sangat memperhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka, dan  mendekati mereka. Tetapi beliau mengkhususkan Aisyah dengan perhatian  lebih, namun ini bukan berarti beliau bersikap pilih kasih, tetapi  karena untuk menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih  perawan dan karena usianya yang masih muda.
      Beliau  mengawini Aisyah ketika masih gadis kecil yang belum mengenal seorang  laki-laki pun selain beliau. Kebutuhan wanita muda seperti ini terhadap  laki-laki lebih besar dibandingkan dengan wanita janda yang lebih tua  dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan kebutuhan disini  bukan sekadar nafkah, pakaian, dan hubungan biologis saja, bahkan  kebutuhan psikologis dan spiritualnya lebih penting dan lebih dalam  daripada semua itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita lihat  Nabi saw. selalu ingat aspek tersebut dan senantiasa memberikan haknya  serta tidak pernah melupakannya meskipun tugas yang dipikulnya besar,  seperti mengatur strategi dakwah, membangun umat, dan menegakkan daulah.  "Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang bagus bagi  kamu." Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.
    Keterangan:
    1 Zadul Ma'ad 1:78-79, terbitan Sunnah Muhammadiyyah.
http://www.islam2u.net/