(Epochtimes.co.id)
Sejak Shanghai World Expo dibuka,  kebiasaan buruk orang China seperti meludah di sembarang tempat, buang  air besar tidak disiram, buang sampah sembarangan, berbaring di  sembarang tempat, berteriak-teriak sesuka hati, bahkan anak-anak buang  air kecil dan besar di sembarang tempat dan berbagai kelakuan tak  beradab lainnya, sekali lagi membuat dunia terbelalak, bersamaan dengan  keterkejutan dan rasa muak orang luar negeri, tak sedikit orang China  merasa malu tak terkira.

Salah satu kebiasaan  buruk orang China, tidur disembarang tempat tanpa memedulikan  lingkungan sekitar, dan anehnya orang-orang biasa dengan pemandangan  seperti ini.
Tentu saja, tindakan tidak beradab semacam itu,  bukan hanya muncul di World Expo saja, itu terjadi pada orang  China yang keluar negeri dan dalam kehidupan sehari-hari, boleh dibilang  bisa ditemui dimana saja. Yang membuat orang tak habis pikir, banyak  orang China tidak merasa risih dengan adat buruk tersebut.
 Untuk hal itu, tidak sedikit esai yang berusaha  menganalisis penyebabnya. Ada orang bahkan mencari sumbernya dari dalam  kebudayaan tradisional China sendiri dan menyebutnya sebagai kebiasaan  buruk yang ditinggalkan leluhur mereka. Lantaran orang kuno “ketinggalan  zaman dan kehidupan yang terbelakang”, maka tentu saja lantas tidak  memperhatikan kesehatan, tidak memperhatikan peradaban dan adat buruk  yang telah berlangsung beberapa ribu tahun itu, tentu saja mutlak tidak  bisa diubah dalam waktu singkat.
 Orang yang mempunyai sudut pandang seperti itu  boleh dibilang salah besar. Pada kenyataannya, meski dikatakan di zaman  China kuno mereka tidak memiliki peralatan canggih seperti pesawat  terbang, mobil, telepon, TV dan lain-lain, tetapi itu tidak lantas  berarti bahwa kualitas kehidupan masyarakat China kuno lebih rendah  daripada manusia zaman sekarang. 
 Realitanya, jalan yang ditempuh iptek zaman China  kuno adalah sebuah jalan perkembangan yang berbeda, dan toh telah  mencapai taraf kemajuan yang susah diimajinasikan manusia zaman  sekarang; sedangkan peradaban orang zaman kuno bukan hanya diwujudkan di  dalam etiket sehari-hari, bahkan diwujudkan dengan perhatian terhadap  detil kehidupan hingga mempelajari dengan seksama tentang kesehatan.  
 Ratusan tahun lalu, para bangsawan Eropa saat  makan masih meletakkan hewan atau unggas utuh di atas meja makan, dan  ramai-ramai disantap dengan secara primitif. Saat itu juga orang Eropa  ketika menonton opera meludah dengan sembarangan di dalam gedung. Banyak  juga orang Eropa yang seumur hidup mereka tidak pernah mandi (di negara  4 musim hal semacam itu memungkinkan, karena tubuh tidak mudah  berkeringat). Sementara itu di China dimana peradaban sudah berkembang  maju dan pada posisi memimpin, situasinya sama sekali berbeda. Kondisi  seperti itu pernah dikagumi dan dipuji orang-orang dari berbagai suku  bangsa.
 Jauh sebelumnya, yakni 2.000 tahun lalu, masa  pemerintahan Qin (baca: Jin), orang China kuno sudah mulai memperhatikan  kesehatan pribadi. Banyak yang menganjurkan “membersihkan rambut setiap  tiga hari sekali dan mandi setiap lima hari sekali”. Terkadang mandi  (cara mandi masyarakat di negara 4 musim, dengan berendam dalam bak)  bahkan merupakan semacam ritual yang sangat penting, untuk mewujudkan  niatan respek. 
 Misalnya, sebelum Kaisar memberikan persembahan  kepada Langit diharuskan mandi terlebih dahulu. Pernah pada zaman  Dinasti Han (206 SM – 220 Masehi) ditetapkan para pejabat sesudah  bekerja 5 hari berturut-turut, hari berikutnya boleh libur satu hari  untuk mandi. Disebut “istirahat mandi”. Kaisar Liang Jian Wen – Xiao  Wang dari Dinasti Nan Chao (502-557 M) yang menyukai kebersihan juga  menulis kitab “Serba Serbi Mandi”.  
 Kamar mandi paling awal tentu saja hanya dimiliki  keluarga kaisar, minimal sudah eksis sejak didirikan Dinasti Zhou (abad  11 – 256 SM). Sekitar zaman Han, kamar mandi umum sudah bermunculan di  kompleks vihara, misalnya bekas kamar mandi pernah digali di situs kuil  aliran Buddha-Fu Feng di Provinsi Shanxi zaman Han Timur (25 - 220 M).  Menurut catatan Dinasti Song, waktu itu area “sarana kamar mandi umum”  itu merupakan satu dari 24 sarana yang terdapat di dalam kompleks  tersebut. Dapat menampung ribuan orang mandi dalam satu hari. Selain itu  menurut kitab “Catatan Asrama Bhiksu Kota Luo Yang” dari Yang Xuan, di  dalam Kuil Bao Guang juga terdapat kamar mandi umum super besar.
 Pada zaman Song (960 - 1279 M) kamar mandi dengan  bak besar untuk kalangan rakyat jelata juga muncul dan terus berlangsung  hingga kini. Hong Mai dari zaman Song menulis di “Yi Jian Zhi”,  pada umumnya orang membangun rumah pasti terdapat ruang untuk mandi.  Tatkala Marco Polo datang ke China pada zaman Yuan (1206 - 1368 M), ia  sampai takjub, “Orang China setiap hari mandi!” 
 Padahal zaman itu, ini mustahil terjadi di Eropa.  Selain mandi setiap hari, di kitab “Xi Jin Zhi” dari zaman Yuan  juga tercatat: Di keluarga terpandang, sebelum putri dinikahkan, harus  dimasukkan dulu ke dalam kamar mandi untuk dibersihkan dengan tuntas.  Boleh dibilang aktivitas mandi kala itu sudah menyatu dengan acara  ritual pernikahan.  
 Orang zaman kuno yang memperhatikan kebersihan,  tentu saja juga sangat peduli dengan penampilan diri sendiri. Orang kuno  dalam perawatan tubuh seperti mandi lulur, membasuh muka, menyeka  tubuh, masing-masing menggunakan bahan berlainan dan sangat rumit. Krim  mutiara, bedak, pemerah muka, minyak Osmanthus, lilin rambut, kantong  aroma dan lain-lain, merupakan bahan kebutuhan sehari-hari. Lebih-lebih  dalam hal perawatan rambut kemilau juga sangat diperhatikan. 
 Aksara 若 (Ruo, bermakna penurut), di dalam  aksara Jia Gu (aksara kuno prasejarah yang ditulis di atas  cangkang kura-kura maupun tulang), berbentuk menyerupai seorang gadis  seusai mencuci kepala sedang menyisir rambutnya. Mereka biasanya sesudah  menyisir rambut dengan rapi, masih diperlukan menggelung dan  menyanggulnya, lalu menancapkan jepit sanggul yang terbuat dari tulang  halus maupun batu Giok agar terkunci rapat. Di luar sanggul masih  dibungkus lagi dengan kain sutra, kemudian mengenakan mahkota, sangat  peduli sekali. Seseorang dengan penampilan rambut acak-acakan, waktu itu  hanya bisa dinilai orang tersebut mengidap penyakit jiwa atau mengalami  stres karena mengalami musibah hebat. 
 Mengenai kesehatan mulut, orang zaman China kuno  juga sangat peduli. Jauh pada tahun 3.000 SM, tercatat mengenai  kebersihan rongga mulut dan pemeliharaan gigi. Orang itu biasanya  menggunakan arak, cuka, air garam, teh dan air hangat untuk kumur atau  dengan metoda menggosok gigi menggunakan garam hijau untuk perawatan  higienis mulut. Kemudian juga belajar dari para biksu suatu kebiasaan  mengunyah ranting pohon Willow guna pembersihan mulut, yakni  mengandalkan mengunyah semacam ranting yang dinamakan Kayu Gigi untuk  menggosok permukaan gigi, sekaligus menggunakannya untuk menggosok lidah  dengan tujuan membersihkan bakteri. 
 Dari kitab sejarah juga tercatat, pada saat  Dinasti Liang Selatan pada abad-6, ada sebuah benda dinamakan “Saput  hitam untuk mulut/gigi” guna menambah putih dan meninggalkan aroma wangi  bagi gigi. Pada masa Dinasti Tang (618 - 907 M) dan Song, beredar  “pasta gigi” yang mengandung ramuan herbal, seperti di dalam kitab “Tai  Ping Sheng Hui Fang” zaman Song yang mencatat secara rinci mengenai  pasta dan metode pengobatan gigi.      
 Atensi orang zaman kuno terhadap higienis, dimulai  sejak pendidikan anak. Misalnya di dalam buku karya terkenal dari  kalangan sekolah khusus “Peraturan Siswa” tercatat: “Pagi membasuh  sembari kumur, lantas buang air kecil dan besar, selalu bersihkan  tangan. Topi mahkota harus rapi, simpulkan kancing, kaos kaki dan sepatu  komplit.” Sejak dini anak sudah dibiasakan  hidup higienis dan memahami  etiket, setelah  beranjak dewasa bisakah ia menjadi seorang yang tidak  beradab? 
 Kebiasaan orang kuno membuang sampah sehari-hari  dengan sembarangan malah sangat langka. Pada 3.000 – 4.000 tahun lalu,  orang zaman kuno sudah mengerti mengumpulkan sampah secara terpusat dan  menggunakan lubang alami ataupun galian untuk menjejalinya dengan  sampah. Mereka juga mengetahui cara tercepat menuntaskan sampah dengan  membakarnya langsung, yang tak habis terbakar lantas diurug. 
 Pada periode Negara Berperang (Zhan Guo, 770 SM –  256 SM), terhadap orang yang sembarangan menumpahkan sampah bisa dihukum  berat dengan pemotongan tangan. Selain itu pabrik pembuatan tahu, arak  dan lain-lain, diwajibkan membenahi saluran pembuangan, jika tidak akan  dilecehkan masyarakat. Perbengkelan seperti perusaahaan pencelupan  dengan polusi berat harus membuat saluran pembuangan. Orang kuno malah  memperhatikan penangkalannya. 
 Seperti yang terjadi di Gunung Hu Qiu, Kota Su  Zhou, di dalam dinding sebelah dalamnya terdapat sebuah batu monumen  dengan grafir ukiran “prasasti pencelupan Hu Qiu yang dilarang  beroperasi selamanya”. Orang lokal menyebutnya “prasasti pelarangan  pencelupan”, dikarenakan pada Dinasti Qing (baca: Jing, 1616 - 1911),  bengkel pencelupan di sekitar daerah tersebut terlalu banyak sehingga  pemilik tidak memperhatikan lingkungan, dengan seenaknya menggelontorkan  limbah ke dalam sungai dan mencemarinya. Itulah sebabnya pemerintah  melarang beroperasinya bengkel pencelupan di tempat tersebut.  
 Selain itu, menyapu, mempertahankan lingkungan  yang bersih, juga merupakan pembelajaran yang harus dilakukan orang  zaman kuno. Mereka juga mempunyai kebiasaan membersihkan rumah. Dalam  kitab Zhou Shu: “Kunci Pembangunan Rumah Tinggal” tercatat: Orang kuno  sering kali menghendaki “saluran lancar, rumah kediaman bersih, tidak  ada bau pengap, tidak menimbulkan wabah”. Hingga kini masih banyak hari  besar yang mempertahankan adat istiadat seperti itu. Di dalam kitab  “Pedoman Pengelolaan Rumah ala Zhu Zi” mendidik anak “bangun subuh,  bersihkan rumah, harus bersih luar dalam”. 
 Tentang apakah orang kuno mempunyai kebiasan  meludah pada sembarangan tempat, atau pernah terdapat pengumuman yang  membatasi warganya meludah di sembarang tempat, termasuk kitab amatir  sejarah China semuanya tidak nampak pencatatan semacam itu. Penyebab  yang paling penting, mungkin dikarenakan, di bawah naungan kebudayaan  tradisional China, orang kuno bertitik tolak dari menegakkan moralitas,  selain itu juga mematuhi etiket, di dalam hatinya terdapat akhlak,  perkataan dan perbuatannya dengan sendirinya dapat mempertimbangkan  apakah pada tempatnya meludah di sembarang tempat, karena hal tersebut  termasuk perilaku yang tidak etis, dengan sendiri-nya orang kuno merasa  tabu mempermasalahkan kepatutan hal tersebut.   
 Sebuah penelitian zaman sekarang beranggapan,  orang kuno ketika harus meludah, terkadang membuka lengan pakaian  (pakaian zaman China kuno memiliki lengan yang lebar dan di sebelah  dalamnya terdapat semacam saku) dan meludah ke dalamnya, atau  menggunakan sapu tangan, membungkusnya dan dimasukkan di balik pakaian. 
 Di sejumlah tempat masih dapat dijumpai semacam  bokor kecil yang khusus disiapkan untuk tempat orang meludah. Pada zaman  Dinasti Tang bahkan terdapat pasal mengenai denda terhadap warga asing  yang ketahuan meludah sembarangan, agar memperingatkan kepada mereka  tidak diperkenankan di jalan raya dan tempat umum lainnya melakukan  tindakan tidak terpuji. 
 Dari sini bisa dilihat, meludah sembarangan tempat  merupakan tindakan tidak beradab, orang kuno sudah mengetahuinya. Maka  boleh dibilang, meludah sembarangan, mutlak bukan adat kebiasaan orang  Tionghoa, juga mutlak bukan adat buruk peninggalan leluhur yang  diwariskan. Tentu saja, orang kuno mempunyai kebiasaan “meludah”, namun  kebanyakan saat menghadapi orang dan persoalan tertentu yang menimbulkan  kemarahan barulah melakukan hal seperti itu. Menyatakan rasa muak  dengan meludah di sembarang tempat adalah dua hal yang berbeda. 
 Maka, sejak kapan orang Tionghoa berubah menjadi  tidak beradab? Berubah sedemikian kasar? Tentu saja hal ini berkaitan  erat dengan penolak-an bahkan pencampakkan kebudayaan tradisionalnya  sendiri. Kebudayaan tradisional China berlandaskan tiga ajaran agama  yakni: Buddha, Khonghucu dan Taoisme.
 “Kemanunggalan antara manusia dan Langit” mewakili  sudut pandang alam semesta orang kuno. “Kebijaksanaan dan Iman” dari  Khonghucu menjadi spesifikasi dan landasan moral masyarakat. “Kesetiaan,  balas budi, pengendalian diri dan keadilan” adalah standar kehidupan  manusia di dunia. 
 Orang Tionghoa yang berendam di dalam kebudayaan  yang besar dan mendalam itu tentu saja respek terhadap Langit dan bumi,  setia kepada masyarakat, memperhatikan keluarga dan memperhatikan  peradaban.  
 Namun sejak zaman Song, kebudayaan tradisional  mulai tak henti-hentinya mengalami pengrusakan dan terjadi pengingkaran  terhadap tradisi. Setelah gerakan “4 Mei (Gerakan Pembaharuan yang  dimulai 4 Mei 1919)”, sebagian intelektual yang berpandangan jangka  pendek dalam rangka mencari jalan keluar bagi China modern, juga dimulai  dari pengingkaran kebudayaan tradisional dan merapat ke peradaban  Barat. Akan tetapi konflik dan evolusi di ranah kebudayaan senantiasa  saling bersaing di wilayah intelektual, artinya tidak melibatkan  kekerasan dari pihak negara. 
 Pada masa Republik China (masa sebelum Komunis  berkuasa pada 1949), banyak adat istiadat tradisional yang masih eksis  di masyarakat. Bagi banyak orang terutama yang berpendidikan, berbusana  rapi, bertutur-kata intelek, tidak meludah di sembarang tempat dan  lain-lain masih merupakan sebuah kriteria penting untuk menilai  kematangan jiwa seseorang. 
 Setelah PKC (Partai Komunis China) berkuasa pada  1949, konflik seputar kebudayaan ditingkatkan ke taraf tinggi yang  berkaitan dengan eksistensi PKC sendiri. Oleh karena itu mereka  melakukan cara merusak langsung dengan meluluh-lantakkan, dan cara  pengrusakan tak langsung ala “membuang ampasnya, sedot sarinya”, serta  melalui penyalah-gunaan. Demikian kebijakan pemerintahan mereka terhadap  kebudayaan. 
 Terlebih lagi saat Revolusi Kebudayaan (1966 -  1976), telah mendorong penghancuran kebudayaan tradisional ke taraf yang  tak bisa diperbaiki lagi. Partai Komunis mengaduk-aduk konsep nurani  masyarakat, sehingga mereka menjauhi tradisi bangsa. Demi mengingkari  kebudayaan tradisional, mereka memuji hal yang kasar sebagai keindahan  dan menggerakkan aksi “Naik Gunung Turun Desa” yakni gerakan mengirim  pemuda-pemudi seluruh negeri ke pedesaan terpencil untuk belajar dari  kaum buruh - tani yang memang tidak berpendidikan dan berkelakuan kasar.  
 Melalui gerakan bertubi-tubi tersebut, meski kaum  intelektual China tidak lagi mematut diri dengan tata krama, tidak  mengedepankan peradaban, bahkan tidak lagi menganggap tabu meludah  sembarangan, berpakaian kedodoran, berperilaku malas-malasan, dan penuh  umpatan kotor. Bahkan ada yang menganggap tindakan dan ucapan yang  ngawur, dinilai tidak menghambat situasi secara keseluruhan. Bukankah  itu semua berkat hasil kerja PKC? 
 Nampaknya, pada masa etika moralitas menuju ambang  kehancuran ini, orang China jika tidak ingin menunjukkan keudikannya di  depan masyarakat dunia, dan jika ingin memulihkan peradaban dan tata  susila yang pernah eksis, harus mau mencampakkan PKC yang tak dapat  hidup selaras dengan hal tersebut di atas, dan yang berupaya mati-matian  merusak kebudayaan tradisional.