Menjelajahi Pulau Buton
Sabtu
Pertama kali ketika merapat dikota Kendari, saya membayangkan satu kota yang membosankan. Kendari bukan satu kota yg tepat untuk plesiran, ini bukan destinasi yang tepat untuk berwisata. Bibir lautnya tidak bagus, bahkan mencari oleh oleh untuk dibawa pulang saja tidak ada. Bayangkan, satu kota besar di Sulawesi Selatan tidak punya lokasi pembuatan dan penjualan cinderamata asli daerah! Mungkin, tempat paling istimewa di Kendari hanyalah jajanan pakan lautnya saja yang dijamin masih segar segar. Sayang, resep masakan laut khas Kendari pun tidak ada. Penjual seafood terbanyak dikuasai oleh Bugis-Makassar dan orang Pekalongan.
Jika anda sudah terlanjur sampai Kendari, jangan putus asa dan memutuskan segera pulang ke Makassar. Cobalah mampir ke pulau Buton, satu satunya pulau di negeri ini yg menghasilkan aspal alam terbesar. Kekecewaan melihat kondisi Kendari yg tidak menarik, semoga akan terbayar apabila tiba di Pulau Buton. Terlebih lagi jika suka dengan diving dan laut yg indah, maka Pulau Buton adalah lokasi ideal. Pergilah kedermaga ferry cepat di Kendari, pesan tiket berangkat ke Buton sehari sebelumnya (karena biasanya padat penumpang). Perjalanan ditempuh selama 4jam Kendari-Buton.
Pulau Buton mempunyai "ibukota" bernama kota Bau-Bau. Penduduknya menyebut dirinya sebagai "orang buton", atau dalam bahasa setempat mereka mengatakan sbg "wolio". Arti kata Wolio dari kata "welia" artinya orang yang menebas hutan. Syahdan, nenek moyang awal orang Buton datang dari wilayah Johor Malaysia yang berlayar dipertengahan abad 13. Mereka masuk melalui selat Malaka, menyusuri laut Jawa, hingga akhirnya sampai dan menetap di wilayah ini. Sesampainya didaerah ini, mereka membangun pemukiman pertama digaris pantai. Pada awal kedatangan mereka itulah kemudian dibentuk kesultanan Buton, dan berdirilah kerajaan pertama diwilayah ini. Pada jaman Sultan Buton ke4, Sultan Dayan Hisanudin, ia memindahkan kesultanan kecilnya dari bibir pantai masuk menerobos hutan, naik medaki puncak bukit Rahantulu. Hijrahnya lokasi awal ketempat baru diduga karena ia khawatir dengan ancaman yang datang dari arah pantai oleh pendatang yang bisa jadi tidak ber itikad baik terhadap kerajaannya.
Dijaman sultan ke enam, yakni Sultan Gafurul Wadudu, lokasi wilayah kediaman sultan Buton diatas bukit itu kemudian diberi pagar benteng yang mengitari wilayah kerajaannya. Benteng dibangun dari batu gunung selama lebih dari 15 tahun. Konon, menurut cerita, batu batuan itu direkatkan satu dengan lainnya memakai putih telur sehingga susunan batu tersebut kokoh bersatu. Bersamaan dengan awal pembangunan benteng Buton, dibangun pula mesjid raya Buton. Karena awal pembangunan diera yang sama, maka kuat dugaan bahwa benteng dan mesjid ini dibangun dengan cara sama yakni memakai batu dan putih telur.
Uniknya ada lagi, di Mesjid Buton ini setiap shalat Jumat, para imam mesjid dan pengurusnya memakai pakaian khusus khas buton lengkap dengan sorbannya dengan masing masing membawa tongkat. Setiap tongkat mencerminkan derajat posisi di masyarakat. Para pemimpin mesjid ini datang ke mesjid satu jam lebih awal dari waktu shalat jumat, mereka meletakan tongkatnya dalam susunan rapi diteras samping mesjid. Ketika menunggu jatuh tempo utk shalat, semua imam yang berpakaian khusus ini duduk bersila disalah satu sisi halaman mesjid yang menghadap laut dan mereka memujikan dzikir serta memanjatkan doa khusus sambil menatap laut diseberangnya. Menurut cerita, doa para imam yang ikhlas inilah yang memohon kepada Allah agar DIA merahmati penduduk.
Buton dengan hasil laut yang melimpah serta membawakan keselamatan panjang selama mereka mencari nafkah sebagai nelayan di laut. Mungkin karena doa mereka inilah, pelaut Buton dari awal abad 15 sudah dikenal mampu membawa kapal cadiknya hingga ke Australia, atau Afrika.