Menantu Asing
Minggu
Menantu Asing
Pernikahan memang mirip penggabungan dua gerbong kereta yang sebelumnya tak berhubungan. Dari penggabungan itulah, dua gerbong menjadi searah, seiring, dan sejalan. Tapi kadang penggabungan tak berlangsung mulus. Karena kendala teknis, penggabungan menjadi timbul tenggelam.
Pernikahan dan persaudaraan memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ia bukan sekadar bersatunya dua anak manusia yang saling cinta. Tapi lebih dari itu, pernikahan menumbuhkan banyak cinta dari banyak orang.
Betapa tidak, seorang anak yang semula punya dua orang tua dengan dua cinta; setelah menikah, punya empat orang tua dengan juga empat cinta. Begitu pun dengan orang tua. Semula ia punya satu anak dengan satu cinta, bertambah menjadi dua anak dengan tentunya juga dua cinta.
Tapi, bagaimana jika cinta yang baru tumbuh itu masih bersekat. Karena sifat-sifat tertentu, seorang menantu baru belum seratus persen menyatu dengan samudera cinta mertua. Setidaknya, rasa itulah yang kini dialami Rudi.
Pemuda usia dua puluh lima tahun ini bisa dibilang beruntung. Ia bukan saja dapat isteri yang cantik dan salehah, tapi juga mertua yang baik dan saleh. Sebegitu baiknya, Rudi diharapkan dengan amat sangat untuk tetap tinggal di rumah mertua. Tak perlu repot-repot mikirin kontrakan, tak usah pusing-pusing mikirin perabot, tak perlu bingung-bingung nyiapin uang belanja; semua sudah disediakan. Bayangkan, sudah dapat gadis salehah, disediakan tempat tinggal gratis, pengawasan dua puluh empat jam, boleh makan minum sepuasnya lagi. Subhanallah, beruntungnya Rudi.
Namun, seperti itukah yang dirasakan Rudi. Justru, perlakuan baik mertua itulah sebagai tantangan berat yang pernah ia alami. Inti masalahnya bukan lantaran ia ingin hidup mandiri bersama isteri. Bukan juga karena ada kecenderungan dominasi mertua. Tapi lebih karena ia tidak biasa berinteraksi dengan orang baru. Ia pemalu, bahkan sangat pemalu.
Jangankan dengan mertua dan kakak iparnya, dengan isterinya saja masih sungkan. Kadang Rudi masih menunduk ketika bicara sama isteri. Ia sulit memulai pembicaraan. Kalau pun merespon, bicaranya sangat sederhana. Hampir tak ada basa-basi.
Sifat itu memang bukan dibuat-buat. Itulah karakter asli Rudi. Pendiam dan pemalu. Ia sendiri bingung kenapa. Yang jelas, ia lebih senang berteman dengan orang yang telah lama ia kenal. Biasanya dengan kakak, tetangga, dan teman sekelas. Sangat jarang Rudi berkenalan dengan teman baru. Bisa dibilang, Rudilah objek perkenalan, bukan sebaliknya. Selama dua puluh lima tahun itu, temannya bisa dihitung dengan jari. Sedikit! Ia bisa keluar keringat dingin jika tiba-tiba seorang yang belum lama ia kenal menjadi begitu akrab. Terlebih orang itu adalah bukan orang yang sebaya. Tapi, dua orang tua yang baru beberapa minggu ia sebut sebagai mertua.
“Memang, hobi Nak Rudi apa?” tanya bapak mertua suatu kali. “Baca, Pak,” jawab Rudi singkat. “Waduh, luar biasa! Jarang orang yang punya hobi sepositif itu. Saya yakin, ilmu Nak Rudi ini sangat luas. Bayangkan, kuliah saja sudah memaksa kita untuk terus baca, apalagi kalau hobi kita juga baca. Alhamdulillah, beruntung sekali saya punya menantu yang punya banyak ilmu seperti Nak Rudi. Luar biasa!” ucap bapak mertua panjang lebar. Rudi cuma senyum-senyum. Sesekali, kepalanya mengangguk. Dan tentu saja, keringat dinginnya mulai menitik. Tes..tes...tes, baju Rudi mulai basah. “Lho, Nak Rudi kegerahan, ya? Mau pasang kipas agin?” tanya ibu mertua prihatin. Yang ditanya lagi-lagi cuma senyum-senyum sambil sesekali menunduk.
Praktis, rumah mertua yang lumayan luas terasa sempit buat Rudi. Itu bukan karena ayah dan ibu mertua membatasi Rudi memasuki ruang-ruangan yang ada. Tapi, lebih karena Rudilah yang membatasi diri memasuki ruang-ruang yang benar-benar wajib ia lewati. Ruang depan ketika ia masuk dan keluar, kamar tempat ia dan isteri tinggali, serta kamar mandi. Ruang yang terakhir wajar sering ia singgahi karena letaknya memang di dalam kamar. Bukan di belakang, atau samping rumah. Ada satu ruangan umum yang terpaksa ia singgahi. Ruang makan. Di situlah bapak ibu mertuanya bisa bicara panjang lebar bersama menantu barunya. Dan di situ pula, Rudi biasa bercucuran keringat dingin.
Tidak heran jika Rudi baru bisa berada di rumah kalau isterinya juga ada di rumah. Jadi, rumusnya sederhana: ada Rudi, ada isteri. Ia tidak bisa membayangkan kalau tinggal di rumah tanpa isteri di sisi. Mungkin, ia akan terpenjara dalam kamar. Ia lebih memilih berpanas-panas atau berhujan-hujan di luar rumah, daripada di rumah cuma bersama mertua dan kakak ipar. Bingung!
Rudi sadar kalau seorang muslim mesti pandai bergaul. Apalagi seorang aktivis. Bagaimana mungkin ia bisa mengenalkan keindahan Islam kalau bergaul saja bisa keluar keringat dingin. Dan Rudi sudah berkali-kali mencoba, tapi tetap saja gagal. Itulah sebabnya ia mengambil posisi administratif daripada di lapangan. Dalam hal apa pun, pekerjaan kantor dan kegiatan keislaman.
Di suatu sore ketika Rudi akan pulang kerja, ia dapat telepon dari isteri. Kata isterinya, ia bersama bapak, ibu, dan kakak ipar akan berangkat ke kampung. Ada berita kalau nenek isterinya sakit keras. Mungkin, esok atau lusa baru kembali. Jadi, kemungkinan ketika Rudi tiba di rumah, sudah tidak ada siapa-siapa. Kecuali, Mbok Inah. Baru tadi pagi, ia resmi jadi pembantu baru. Sebelumnya, Mbok Inah cuma bekerja di toko mertua yang jaraknya lumayan jauh dari rumah.
Ketika tiba di rumah, Rudi bingung mau bagaimana. Masalahnya, ia sama sekali belum kenal Mbok Inah. Begitu pun sebaliknya. “Mau cari siapa, Mas?” tanya Mbok Inah ke Rudi yang sudah berdiri di pintu gerbang yang terkunci. Temaran lampu depan memang tidak mampu memperlihatkan wajah Rudi secara jelas. “Saya...saya, Rudi, Mbok. Suami Nina!” jawab Rudi agak ragu.
Mata Mbok Inah agak mengernyit. “Siapa?” tanya Mbok Inah sekali lagi. “Rudi!” jawab Rudi singkat. “Kok saya nggak pernah kenal?” tanya Mbok Inah agak ketus. “Benar, Mbok. Saya Rudi, suami Nina!” ucap Rudi tetap ramah. “Tunggu dulu. Kalau sampeyan benar Si Rudi suami Non Nina, pasti bisa ngejawab. Ada berapa kamar di rumah ini?” tanya Mbok Inah serius.
Rudi agak bingung. “Baik, sekali lagi saya tanya. Kalau sampeyan benar tinggal di rumah ini, apa merek tivi di sini? Hayo coba apa?” sergah Mbok Inah mulai galak. Yang ditanya lagi-lagi diam. Rudi tampak bingung. Pelan tapi meyakinkan, batinnya mulai berbisik, “Yah, tidur di masjid lagi, dong!”
Pernikahan dan persaudaraan memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ia bukan sekadar bersatunya dua anak manusia yang saling cinta. Tapi lebih dari itu, pernikahan menumbuhkan banyak cinta dari banyak orang.
Betapa tidak, seorang anak yang semula punya dua orang tua dengan dua cinta; setelah menikah, punya empat orang tua dengan juga empat cinta. Begitu pun dengan orang tua. Semula ia punya satu anak dengan satu cinta, bertambah menjadi dua anak dengan tentunya juga dua cinta.
Tapi, bagaimana jika cinta yang baru tumbuh itu masih bersekat. Karena sifat-sifat tertentu, seorang menantu baru belum seratus persen menyatu dengan samudera cinta mertua. Setidaknya, rasa itulah yang kini dialami Rudi.
Pemuda usia dua puluh lima tahun ini bisa dibilang beruntung. Ia bukan saja dapat isteri yang cantik dan salehah, tapi juga mertua yang baik dan saleh. Sebegitu baiknya, Rudi diharapkan dengan amat sangat untuk tetap tinggal di rumah mertua. Tak perlu repot-repot mikirin kontrakan, tak usah pusing-pusing mikirin perabot, tak perlu bingung-bingung nyiapin uang belanja; semua sudah disediakan. Bayangkan, sudah dapat gadis salehah, disediakan tempat tinggal gratis, pengawasan dua puluh empat jam, boleh makan minum sepuasnya lagi. Subhanallah, beruntungnya Rudi.
Namun, seperti itukah yang dirasakan Rudi. Justru, perlakuan baik mertua itulah sebagai tantangan berat yang pernah ia alami. Inti masalahnya bukan lantaran ia ingin hidup mandiri bersama isteri. Bukan juga karena ada kecenderungan dominasi mertua. Tapi lebih karena ia tidak biasa berinteraksi dengan orang baru. Ia pemalu, bahkan sangat pemalu.
Jangankan dengan mertua dan kakak iparnya, dengan isterinya saja masih sungkan. Kadang Rudi masih menunduk ketika bicara sama isteri. Ia sulit memulai pembicaraan. Kalau pun merespon, bicaranya sangat sederhana. Hampir tak ada basa-basi.
Sifat itu memang bukan dibuat-buat. Itulah karakter asli Rudi. Pendiam dan pemalu. Ia sendiri bingung kenapa. Yang jelas, ia lebih senang berteman dengan orang yang telah lama ia kenal. Biasanya dengan kakak, tetangga, dan teman sekelas. Sangat jarang Rudi berkenalan dengan teman baru. Bisa dibilang, Rudilah objek perkenalan, bukan sebaliknya. Selama dua puluh lima tahun itu, temannya bisa dihitung dengan jari. Sedikit! Ia bisa keluar keringat dingin jika tiba-tiba seorang yang belum lama ia kenal menjadi begitu akrab. Terlebih orang itu adalah bukan orang yang sebaya. Tapi, dua orang tua yang baru beberapa minggu ia sebut sebagai mertua.
“Memang, hobi Nak Rudi apa?” tanya bapak mertua suatu kali. “Baca, Pak,” jawab Rudi singkat. “Waduh, luar biasa! Jarang orang yang punya hobi sepositif itu. Saya yakin, ilmu Nak Rudi ini sangat luas. Bayangkan, kuliah saja sudah memaksa kita untuk terus baca, apalagi kalau hobi kita juga baca. Alhamdulillah, beruntung sekali saya punya menantu yang punya banyak ilmu seperti Nak Rudi. Luar biasa!” ucap bapak mertua panjang lebar. Rudi cuma senyum-senyum. Sesekali, kepalanya mengangguk. Dan tentu saja, keringat dinginnya mulai menitik. Tes..tes...tes, baju Rudi mulai basah. “Lho, Nak Rudi kegerahan, ya? Mau pasang kipas agin?” tanya ibu mertua prihatin. Yang ditanya lagi-lagi cuma senyum-senyum sambil sesekali menunduk.
Praktis, rumah mertua yang lumayan luas terasa sempit buat Rudi. Itu bukan karena ayah dan ibu mertua membatasi Rudi memasuki ruang-ruangan yang ada. Tapi, lebih karena Rudilah yang membatasi diri memasuki ruang-ruang yang benar-benar wajib ia lewati. Ruang depan ketika ia masuk dan keluar, kamar tempat ia dan isteri tinggali, serta kamar mandi. Ruang yang terakhir wajar sering ia singgahi karena letaknya memang di dalam kamar. Bukan di belakang, atau samping rumah. Ada satu ruangan umum yang terpaksa ia singgahi. Ruang makan. Di situlah bapak ibu mertuanya bisa bicara panjang lebar bersama menantu barunya. Dan di situ pula, Rudi biasa bercucuran keringat dingin.
Tidak heran jika Rudi baru bisa berada di rumah kalau isterinya juga ada di rumah. Jadi, rumusnya sederhana: ada Rudi, ada isteri. Ia tidak bisa membayangkan kalau tinggal di rumah tanpa isteri di sisi. Mungkin, ia akan terpenjara dalam kamar. Ia lebih memilih berpanas-panas atau berhujan-hujan di luar rumah, daripada di rumah cuma bersama mertua dan kakak ipar. Bingung!
Rudi sadar kalau seorang muslim mesti pandai bergaul. Apalagi seorang aktivis. Bagaimana mungkin ia bisa mengenalkan keindahan Islam kalau bergaul saja bisa keluar keringat dingin. Dan Rudi sudah berkali-kali mencoba, tapi tetap saja gagal. Itulah sebabnya ia mengambil posisi administratif daripada di lapangan. Dalam hal apa pun, pekerjaan kantor dan kegiatan keislaman.
Di suatu sore ketika Rudi akan pulang kerja, ia dapat telepon dari isteri. Kata isterinya, ia bersama bapak, ibu, dan kakak ipar akan berangkat ke kampung. Ada berita kalau nenek isterinya sakit keras. Mungkin, esok atau lusa baru kembali. Jadi, kemungkinan ketika Rudi tiba di rumah, sudah tidak ada siapa-siapa. Kecuali, Mbok Inah. Baru tadi pagi, ia resmi jadi pembantu baru. Sebelumnya, Mbok Inah cuma bekerja di toko mertua yang jaraknya lumayan jauh dari rumah.
Ketika tiba di rumah, Rudi bingung mau bagaimana. Masalahnya, ia sama sekali belum kenal Mbok Inah. Begitu pun sebaliknya. “Mau cari siapa, Mas?” tanya Mbok Inah ke Rudi yang sudah berdiri di pintu gerbang yang terkunci. Temaran lampu depan memang tidak mampu memperlihatkan wajah Rudi secara jelas. “Saya...saya, Rudi, Mbok. Suami Nina!” jawab Rudi agak ragu.
Mata Mbok Inah agak mengernyit. “Siapa?” tanya Mbok Inah sekali lagi. “Rudi!” jawab Rudi singkat. “Kok saya nggak pernah kenal?” tanya Mbok Inah agak ketus. “Benar, Mbok. Saya Rudi, suami Nina!” ucap Rudi tetap ramah. “Tunggu dulu. Kalau sampeyan benar Si Rudi suami Non Nina, pasti bisa ngejawab. Ada berapa kamar di rumah ini?” tanya Mbok Inah serius.
Rudi agak bingung. “Baik, sekali lagi saya tanya. Kalau sampeyan benar tinggal di rumah ini, apa merek tivi di sini? Hayo coba apa?” sergah Mbok Inah mulai galak. Yang ditanya lagi-lagi diam. Rudi tampak bingung. Pelan tapi meyakinkan, batinnya mulai berbisik, “Yah, tidur di masjid lagi, dong!”
0 komentar to “Menantu Asing”
=