Setelah kupikir masak-masak beberapa kali akhirnya kubulatkan  tekad untuk berbagi pengalaman yang sebenarnya kepada pembaca  perempuan.com, bagaimana aku menjalani peran sebagai istri siri seorang  pejabat negara.
 
Empat tahun yang lalu, aku berkenalan secara tidak sengaja dengan  seorang pria lewat Facebook. Pria tersebut meninggalkan pesan lewat  inbox di akun, menanyakan tentang kota Balikpapan. Memang aku pernah  pergi ke Balikpapan beberapa minggu sebelumnya dan memasang foto-fotoku  di album Facebook.
 
Selanjutnya, kami sering ngobrol ringan lewat chatting  dan hari Rabu itu membuat janji temu di kantorku. Pria tersebut bernama  Ferry datang tepat waktu dan masih mengenakan seragam Departemen milik  Pemerintah. Ferry kelihatan lebih menarik dari foto-foto di Facebooknya.  Kami  pun berteman biasa.
 
Beberapa bulan kemudian, intensitas pertemuan kami makin sering.  Ferry kerap menjemputku usai jam kerja. Yang awalnya hanya makan dan  ngobrol saja makin lama makin dekat dan kami saling curhat.
 
Ferry, laki-laki berusia 38 tahun mempunyai tiga orang anak. Istrinya  seorang house wife. Karir ferry di Departemen cukup bagus, buktinya  Ferry bisa membeli tiga buah rumah besar di Jakarta.
 
Mobilnya pun selalu berganti-ganti, sudah tiga buah mobilnya yang  pernah menjemputku. Ferry juga cukup pemurah, buktinya dia selalu  membayar kwitansi makan kami. Beberapa kali kusodorkan uangku untuk  berbagi bayar tapi selalu ditolaknya.
 
Kuakui, makin lama aku makin tertarik padanya, padahal kutahu persis  dia adalah seorang suami dan bapak tiga orang anak. Namun tak dapat  dipungkiri jika hatiku makin terjerat padanya.
 
Saking  terjeratnya aku sudah tak dapat berfikir normal lagi. Pacarku yang  selama ini sudah setia bersamaku tiga tahun juga kuputuskan. Aku  terlibat cinta terlarang.
 
Intensitas pertemuanku dengan Ferry menjadi tiap hari. Setiap pulang  jam kantor kami selalu janjian di depan halte Jalan Sudirman dan Ferry  menjemputku di sana.
 
Hingga suatu hari kami memutuskan menginap bersama di hotel “H” di kawasan Puncak.
 
Malam itu aku sudah menyiapkan diriku untuk Ferry. Aku sengaja  mengenakan daster berwarna hitam yang terawang sehingga lekuk tubuhku  dapat terlihat jelas olehnya.
 
Ferry memang piawai soal bercinta, dengan perlahan dia memeluk,  mencium, menyentuh bagian-bagian sensitifku sehingga aku tak sabar dan  menariknya ke atas ranjang. Ferry membiarkan aku yang memulainya  terlebih dahulu, dia hanya tersenyum melihat gelora hasratku yang tak  dapat kututupi lagi.
 
Aku membuang seluruh pakaian yang dikenakan oleh Ferry kemudian mulai  menciumi bibirnya, lehernya, dadanya dan seluruh badannya, namun aku  yang menggeliat tak kuat.
 

Dengan  segera kubalikkan tubuh Ferry hingga menindihku dan kami bergumul  dengan hebat. Aku dibiarkannya orgasme berkali-kali sebelum dia  mengakhirinya.
 
Sejak itu, aku jatuh cinta total dan ingin disetubuhinya terus  menerus. Aku menginginkan Ferry masuk dalam kehidupanku dan kebetulan  Ferry meminangku untuk dijadikan istri sirinya.
 
Inilah yang kuinginkan, menjadi istri  Ferry berarti menjadi bagian  hidupnya. Aku dinikah oleh Ferry di depan penghulu dengan wali nikah  saudara penghulu. Kami menikah di Cisarua, tanpa ada bulan madu.
 
Setelah pernikahan itu, tiap hari Ferry menjemputku di kantor dan  membawaku pulang ke rumah kontrakan kami di daerah Pamulang. Sekitar jam  sepuluh malam Ferry pulang ke rumah istri pertamanya yang letaknya tak  jauh dari rumah kami. Tiap pagi kami berangkat kantor bersama. Itulah  rutinitas kami.
 
Bukan hanya itu, setiap malam setelah Ferry pulang dari rumah, aku  sendiri saja di kamar sehingga ngantuk menerpa dan aku tertidur  berpelukan dengan guling.
 
Enam bulan kemudian, aku ingin hari Jumat ini Ferry menginap di  rumahku. Namun hal tersebut tak mungkin karena pekerjaan Ferry di kantor  memang tak ada kaitannya keluar kota. Jadi keinginanku tersebut  mustahil dapat dipenuhi oleh Ferry.
 
Jadilah  selama enam bulan ini setiap Jumat malam hingga Senin pagi aku tak  dapat bertemu Ferry karena hari-hari tersebut adalah hari dia bersama  anak dan istri pertamanya. Untuk menghabiskan waktu setiap akhir Minggu  aku ke supermarket, ke salon atau nge-gym.
 
Memang, untuk mengganti hari-hari tersebut Ferry membelikanku  hadiah-hadiah antara lain mengganti mobil lamaku dengan mobil baru,  memberiku deposito dan uang belanja sehari-hari. Namun lama-lama aku  merasa bagai dikurung olehnya, karena aku tak diijinkan pergi sendiri  kecuali bersamanya. Wah…
 
Suatu hari aku pernah ngotot ingin mengajaknya belanja di  Supermarket. Memang selama ini Ferry menolak karena takut kepergok oleh  teman atau saudaranya.
 
Namun kali ini aku benar-benar ingin menikmati menjadi istrinya yang  pergi berbelanja bersama suaminya, apa lacur Ferry memang turun bersama  di Supermarket tersebut, namun Ferry memilih beda lorong denganku.
 
Dia selalu menjauh. Hanya saat aku sudah mendekati kasir, Ferry  mendekatiku dan menyorongkan uang segenggam untuk membayar belanjaan  tersebut. Aku mulai sakit hati dengan perilakunya ini.
 
Kebetulan hari Sabtu, salah seorang teman di kantor merayakan  pernikahannya di  gedung. Namanya juga satu bagian, tentu saja kami  bersama-sama ingin datang ke pernikanan Erni. Saat pulang kantor aku  meminta ijin Ferry. “Pa, besok kan Erni nikah di gedung serba guna, kita  datang ya, kan Erni satu bagian denganku.”
 
“Kan  kamu tahu sayang, aku tak mungkin datang ke pernikahan teman bersama  kamu, itu hal yang membahayakan jika kebersamaan kita bocor,” lugas  Ferry. Aku terdiam dan esoknya aku datang sendiri.
 
Memang ada komitmen yang tak tertulis diantara aku dan Ferry, jika  sudah jam malam maka aku dilarang total berkomunikasi dalam bentuk  apapun ke telepon selulernya. Namun Ferry bisa kapan saja menghubungiku.
 
Selain itu, jika sudah memasuki akhir minggu dan hari libur nasional  tak boleh sedikitpun aku menghubunginya apapun yang terjadi. Tapi hal  tersebut juga tak berlaku buat Ferry.
 
Bukan itu saja, jika sedang libur sekolah maka Ferry mengambil cuti  libur pula untuk bepergian bersama istri pertama dan anak-anaknya, saat  itupun aku tak diperbolehkan menghubunginya. Aku hanya menungggu  dihubungi oleh Ferry. Rasanya tak adil sama sekali.
Suatu hari, di Sabtu pagi tiba-tiba perutku kejang. Aku berusaha  memberi obat pereda, namun makin jadi sakitnya. Aku menelpon seorang  teman dan memintanya membawaku ke rumah sakit. Begitu diperiksa aku  mendapat diagnose sakit usus buntu akut dan diharuskan operasi hari itu  juga.
 
Aku  menandatangani operasiku sendiri, sakit sendiri, menderita sendiri,  hingga Senin pagi barulah Ferry tahu bahwa aku dirawat di rumah sakit.  Saat itu aku mulai muak dengan pilihanku menjadi istri siri.
 
Titik kulminasinya, saat liburan tahun baru. Aku pulang ke rumah  orangtuaku di Cirebon dan Ferry pergi  berlibur dengan keluarganya ke  Bali. Saat itu Ayahku sedang sakit keras dan koma. Aku panik dan mencoba  mengirim Ferry pesan singkat yang berbunyi “papa Cirebon sakit keras,  tolong telpon aku.”
 
Beberapa jam kemudian aku mendapat jawaban. “Jangan kontak saya lagi  sesuai perjanjian kita, urus dulu Papa di Rumah Sakit, nanti uangnya  saya ganti.”
 
Menjerit keras aku melihat jawabannya dia pikir aku hanya perlu uang  semata. Buat apa aku menikahinya jika aku tak dapat mencurahkan  kesedihanku pada orang yang aku cintai.
 
Buat apa aku menjadi istrinya, karena di saat-saat genting seperti   ini suamiku tak dapat kuhubungi. Aku marah dengan diriku sendiri,  apalagi setelah dua hari kemudian Papaku diambil  Yang Maha Kuasa.  Kemarahanku meledak dan memutuskan untuk tak kembali ke Pamulang, rumah  kontrakan kami.
 Aku meminta cerai dari Ferry sebagai istri siri dan memulai kehidupan  baru kembali. Tak akan kubiarkan diriku menjadi istri siri lagi.  Walaupun jika aku tak laku kawin. Enggak!!
http://perempuan.com/kamu-pikir-jadi-istri-siri-itu-enak/