Senpai, Saya Ingin jadi Pilot (2)

Selasa



Senpai, Saya Ingin jadi Pilot (2)

#Terimalah Dia sebagai Bimbinganmu#

Satu bulan sudah berlalu. Jangankan seminggu sekali, sejak saat itu gelar si pembolos tertancap di dahinya, karena mahasiswa menyebalkan itu tidak pernah hadir di lab dan dalam pertemuan mingguan. Dengan sangat mudah dia dilupakan siapapun, kecuali pembimbingnya dan asisten profesor.

Hingga suatu hari..

"Ya agenda rapat berlanjut, ada yang ingin menyampaikan sesuatu?" moderator rapat lab hari itu bertanya.

Ada mahasiswa di pojok itu berjas sangat rapi, berdiri. Aku bertanya pada samping kananku, "Eh itu siapa ya?" Yang ditanya, mahasiswa senior, doktor tahun ketiga, menggelengkan kepalanya sambil melongo. Aku bertanya pada samping kiriku, "Eh dia itu anggota lab kita?" Yang aku tanya tutorku, Fujiyama, mahasiswi doktoral tahun ke dua. "Iya, Yani-san, dia yonensei. Dia memang jarang hadir dan sepertinya mau mengatakan sesuatu yang serius..ssttt….dengarkan" tutorku berbisik.

"Namanya siapa?" aku berbisik lirih. "Kitamura-kun..sstt.." tutorku tampak khawatir. Aku bertanya-tanya, ah jangan-jangan yang duduk di depan Oh, si pemuda yang berisik itu. O..namanya Kitamura, dalam bahasa jepang nama ini artinya desa di utara. Aku menyapu pandangan ke ruangan rapat, ah, Ass Prof Ishida, pembimbingnya tidak hadir saat itu.

"Saya minta maaf atas keteledoran saya, karena saya tidak pernah hadir dalam rapat...bla..bla.. (dalam bahasa jepang yang sangat formal dan halus)..bla..bla..saya mohon sungguh-sungguh untuk dimaafkan" si pembolos mengakhiri pidatonya sambil membungkuk 90 derajat, cara membungkuk paling formal di Jepang. Sepertinya dia sudah ditegur lewat email.

"Yah saya ingin menjelaskan mengapa kami kecewa dengan caramu...bla..bla.. (dalam bahasa Jepang yang tegas dan tajam)..bla..bla..seharusnya kamu juga mengabari lewat email jika memang berhalangan hadir di rapat dengan alasan yang tepat. Lab ini ada aturannya..dst..." Dr. Nagai, asisten profesor, berbicara panjang lebar dengan wajah merah. Kelihatannya sangat sulit dosen muda ini menahan marah.

Lama sekali Dr. Nagai berbicara dan yang dimarahi tetap berdiri dengan memasang wajah penyesalan mendalam, seperti aku dulu disetrap saat masih SD. Tidak ada yang mengasihaninya. Tanpa ampun, bahkan ada yang menganggukkan kepala karena setuju. Udin, yuniorku, mahasiswa S2 tahun pertama, baru datang dari Indonesia, berbisik, "Mbak, emang kenapa sih nih anak?" Udin terlihat heran melihat pembimbingnya berbicara tanpa henti. "Sstst..si pemalas sedang dimarahi pembimbingmu, kapok, kapok, wis, dasar bandel!" bisikku. Aku merasa sangat puas hari itu.

Minggu berikutnya adalah saat Kitamura memberikan presentasi hasil penelitiannya. Ah, aku mau lihat seperti apa, penasaran aku bertanya-tanya dalam hati. Dia membagikan foto copy lembar presentasinya ke seluruh peserta rapat, termasuk ass Prof Ishida, pembimbingnya. Wow, apa ini, kok serius juga ya, aku terkejut. Biasanya presenter tidak membagikan lembar presentasinya, karena ini hanya diskusi kecil.

Aku lihat pembimbingnya juga terkejut. " Wah serius bener nih" sahut beliau, menyindir, rupanya kasus minggu lalu sudah diceritakan pada sang supervisor. Yang disindir tersenyum dan dengan percaya diri dia menyampaikan hasil pekerjaannya. Dia meneliti tentang managemen pengambilan keputusan pada perusahaan konstruksi Jepang yang mengikuti tender di negara lain. Beberapa negara di Asia menjadi obyek penelitiannya. Aspek kepuasan pelanggan dan kekuatan perusahaan Jepang dalam menjaga `image` menjadi faktor utama. Ah lumayan juga nih bocah, aku berkata dalam hati, tapi sayang pemalas.

Dua minggu berlalu, memasuki bulan Desember, udara dingin menusuk menyerang setiap mahasiswa yang sedang bereksperimen di ruang bawah tanah. Statusku di facebook tidak pernah jauh dari kalimat: I hate winter, atau Dingiiin... dsb. Biasanya juga diikuti komentar kawanku: sabar,..tawakal dsb. Saat yang berat untuk beraktifitas, terlebih lagi memang ada masalah dengan hasil pengukuranku. Beberapa kali aku mencoba, tetapi hasilnya tidak konsisten.

Aih, rasanya ingin kuakhiri saja semua. Ini juga salah satu status favoritku di facebook. Kabel-kabel ini, cetakan itu dan alat pengukur ini membuat aku semakin tertekan, terlebih lagi ini sebenarnya bukan materi utama penelitianku. Seperti biasa, ass Prof Ishida meminta waktuku khusus untuk mengerjakan beberapa tugas tambahan.

"Yani-san, konnichiwa!"

Aku mendengar suara Ass. Prof Ishida menyapaku di ruang yang dingin itu.

"Ah sensei, konnichiwa, kyo wa chotto samui desune."

Aku membalas sapanya dan kulihat beliau hanya menggunakan kemeja biasa, pantas beliau terlihat menggigil.

"Yani-san, do you know him?" Ishida-sensei bertanya.

Sosok ramping bergeser dari sisi belakang beliau, si pembolos ternyata.

"Are, dare desuka?" Aku berpura-pura tidak peduli.

Sensei tertawa lebar melihat aku bercanda.

"Dia Kitamura, katanya mejanya dekat dengan mejamu, iya kan?" sensei tersenyum.
"Ah, iya saya sampai lupa, pantas, saya merasa seperti pernah bertemu!" Aku menyindir sambil tersenyum masam.

Sensei terbahak-bahak. Yang disindir tersenyum jengah, malu, kesal, dan pasrah.

"Yani-san, kamu tahu kan apa yang kamu kerjakan ini bisa merubah peraturan Jepang tentang penggunaan campuran semen. Ini kan penelitian yang sangat sensitif. Saya ingin kamu mengajari Kitamura-kun apa saja yang kamu kerjakan. Saya memutuskan untuk mengganti topik penelitiannya. Penelitiannya yang dulu terlalu bias, saya ingin hasil yang lebih fokus dan bermanfaat. Saya yakin kamu orang yang tepat untuk mengajarinya. Dia hanya punya waktu 2 bulan untuk menyelesaikan penelitiannya bersama kamu. Saya mohon dengan sangat kamu mau menerimanya."

Kata-kata sensei mengalir seperti ribuan jarum yang menusuk seluruh pembuluh darahku. Astaghfirullah..astaghfirullah.. ini hari terburukku.

Aku mengatur nafas, mengatur hati dan kemudian mengatur kata-kata. "Sensei, saya hanya mengikuti arahan anda. Mohon saya diberi petunjuk dan kebijaksanaan. Ini waktunya sangat singkat buat dia dan apa yang saya kerjakan ini tidak mudah karena saya sudah mengembangkan metoda ini selama setahun, tidak hanya teori tapi juga di sini dibutuhkan ‘special feeling’ untuk bisa mendapatkan ‘tangan dingin’ agar hasil pengukuran ini tepat. Sensei tahu benar betapa sulitnya ini semua. Ada hubungan emosional antara hati kita dengan spesimen-spesimen ini."

Aku memasang wajah datar dan serius. Aku yakin sensei paham bahwa aku ‘sedikit’ keberatan.

"Ya, tepat sekali Yani-san. Seperti saya bilang tadi, kamu orang yang tepat. Saya tidak akan meminta dia mengerjakan serumit yang kamu kerjakan. Saya hanya ingin dia paham secara garis besarnya saja. Nanti saya akan mengarahkan".

Sensei berkata lebih lembut lagi dengan menatapku lama menanti jawaban.

Aduh..aduh… sudah tidak ada jalan lain, sudah tidak ada celah lain..Bismillah…Aku menarik nafas dalam-dalam, " Sensei, I will do my best. Selama ini saya bekerja sendirian, terima kasih sudah mau mengarahkan dia sehingga bisa membantu pekerjaan saya nanti. Dia akan jadi kohai (adik) saya di eksperimen ini !"

"Doumo arigatou gozaimashita, Yani-san! Saya ingin sekali mengerjakan eksperimen seperti ini, sehingga baju saya terkotori oleh semen seperti bajumu. Terlihat seperti insinyur yang keren!".

Kitamura antusias sekali dan kemudian melanjutkan kata-katanya dalam bahasa Inggris yang sangat lancar. Ajaib, sebelumnya aku belum pernah mendengarkannya berbicara dalam bahasa Inggris. Luar biasa, kemampuannya ini di atas rata-rata teman-temannya sekelas. Ya Allah akupun menantikan keajaiban-Mu.

"Haik, Kitamura-kun, yarimashou! mulai sekarang saya tidak akan membiarkan bajumu bersih. Dalam hitungan hari, kamu akan tahu betapa beratnya ini semua." Aku menyahut.
"OK-lah, kalian selamat bekerja ya, Yani-san terima kasih ya." Sensei tersenyum dan kemudian berlalu. Senyum sensei tampak tulus.

Entah mengapa hari itu aku memandang semuanya menjadi hitam dan menjengkelkan bahkan senyum sensei seperti seringai keji serigala jahat. Atap di ruangan itu seperti mau runtuh dan lantainya seperti terkena guncangan gempa.

Setengah berlari dengan kaki gemetar, aku menuju tempat sholat, memohon pertolongan pada-Nya. Ya Allah, beban ini sudah berat, dua topik disertasi telah aku kerjakan bersamaan, tapi kenapa anak itu hadir sebagai tambahan beban, padahal aku sudah pernah meminta, memohpn ya Rob, jangan sampai aku punya mahasiswa yang seperti dia. Tapi.. kenapa anak itu langsung Kau hadapkan padaku. Ini semakin berat. Aku mohon petunjuk-Mu ya Rab, agar aku sanggup. Amin. Aku menyeka air mata.

Aku mulai khawatir bahwa aku telah salah berdoa tapi aku tahu, saat itu Allah telah sedikit mencubit pipiku.

(bersambung)

Januarti Jaya Ekaputri (Yani)

Catatan:
Tutor: Mahasiswa Jepang terpilih yang membantu mahasiswa asing di tahun pertama di Jepang.

San: sebutan di akhir nama seseorang untuk menghargainya

Kun: sebutan seperti san tetapi untuk pria yang lebih muda dari kita

Konnichiwa: selamat siangKyo wa chotto samui desune: hari ini sedikit terasa dingin ya.

Are, dare desuka: Ah, siapa ya

Sensei: profesor

Yarimashou: ayo dikerjakan




Artikel Lainnya



0 komentar to “Senpai, Saya Ingin jadi Pilot (2)”

Bebas Berkomentar..