Pria Indonesia di Mata Wanita Jepang
Ini  hanya observasi  pribadi dari pengalaman tinggal di Sapporo, kota  dingin di utara Jepang,  yang terkenal dengan Snow Festivalnya. Walaupun  Sapporo menempati  urutan kota terluas ketiga di Jepang, kota ini cukup  jauh dari  hiruk-pikuk metropolitan. Bersepeda sedikit saja keluar  pusat kota, akan  terasa keheningan pedesaan walau masih dipenuhi oleh  apartemen2 khas  Jepang yang didominasi bangunan kayu. Seorang teman  Jepang pernah  mengatakan bahwa di Sapporo jam berdetak lebih lambat  dibandingkan  Tokyo. Maksudnya, walau dengan etos kerja yang sama, orang  Sapporo  terlihat lebih santai dibandingkan dengan sesamanya di Tokyo.  Namun  demikian, tipikal orang Jepang yang ‘gila kerja’ juga terlihat  dalam  kehidupan keseharian di Sapporo.
Sabtu di Jepang adalah hari libur (dari kerja), tetapi kita akan tetap menemui banyak pria berjas hilir mudik di Sapporo Station (station utama dan yang terletak di pusat kota). Jas adalah seragam orang kantoran. Artinya, walaupun libur, masih banyak orang Jepang, khususnya pria, yang lembur kerja. Bahkan pemandangan yang sama bisa kita jumpai pada hari Minggu. Di Sabtu dan Minggu, khususnya di musim panas, akan sering terlihat ibu dan anak berjalan-jalan, menikmati keindahan Taman Odori, Maruyama, atau taman2 lain. Ada yang hanya berjalan-jalan, duduk santai bahkan bermain dengan anak2. Taman Odori adalah taman kota sepanjang hampir 1,2 km yang terletak tepat di tengah kota.
Di  taman inilah, saat  musim dingin, diadakan Snow Festival yang sangat  terkenal itu. Maruyama  adalah taman di pusat kota juga, tapi tidak  tepat di jantung kota  seperti Odori. Di tengahnya ada danau kecil  tempat orang naik perahu dan  di musim panas, taman itu pusatnya barang2  loakan (flea market). Di  musim dingin taman itu dijadikan tempat cross  country ski sederhana.  Yang menarik adalah jarang sekali terlihat  bapak2 yang menemani anak2nya  bermain. Kalau pun ada satu dua, biasanya  mereka masih mengenakan jas  yang artinya baru pulang lembur.  Pemandangan yang sama pun akan dijumpai  di kereta bawah tanah dan mall.  Sangat sedikit terlihat keluarga utuh,  bapak, ibu dan anak berjalan  bersama.
Memang berbeda dengan kota-kota besar di Jepang, dimana nilai keluarga di Sapporo masih cukup tinggi. Menikah, memiliki anak dan hidup berkeluarga, masih merupakan bagian hidup yang dijalani sebagian besar penduduk Sapporo. Berbeda dengan apa yang pernah diamati dan diceritakan di Hiroshima, Kobe, Yokohama, dan beberapa kota2 besar lainnya. Di sana, sangat jarang melihat keluarga bermain di taman atau melihat ibu2 mendorong kereta bayi. Umumnya di taman2 mereka didominasi oleh remaja2 yang bermain dengan sesamanya.
Walaupun demikian, seperti halnya Jepang secara keseluruhan, pria lebih dominan dibandingkan dengan wanita. Dalam keluarga, perempuan bertanggung jawab semuanya, mulai dari mengurus suami dan rumah tangga. Tugas suami hanyalah bekerja mencari nafkah. Novel2 dan film2 Jepang, baik seting lama maupun baru pun secara tidak langsung menunjukan hal tersebut.
Jika  satu keluarga akan  berpergian, maka sang istrilah yang menyiapkan  semuanya. Bahkan, sampai  menyiapkan dan memasukan semua barang ke dalam  mobil pun di lakukan oleh  istri. Suami tinggal masuk mobil dan  menyetir. Yang sering terlihat di  mall atau di taman pun sama. Suami  tidak pernah direpotkan dengan urusan  anak. Anak belepotan makanan,  baju kotor, ganti topi, membersihkan  muka, dan semua ‘tugas kecil’  dilakukan semuanya oleh istri.
Tampaknya, bagaimana pria lebih superior dari wanita sudah terlihat sejak remaja. Lebih dari sekali terlihat, pasangan remaja, jika berpergian, maka yang membawa tas atau beban lebih banyak adalah yang wanitanya. Bahkan satu dua kali terlihat jika hanya ada satu sepeda, maka yang pria yang naik sepeda, sementara yang wanita jalan!
Itulah budaya Jepang dan tampaknya tidak ada masalah dengannya. Ini terbukti, dengan budaya yang sudah ratusan tahun itu, Jepang tetap bertahan dan maju sampai seperti sekarang.
Tampaknya pandangan beberapa wanita Jepang tentang budaya itu sedikit berubah saat mengenal lebih dekat kehidupan warga Indonesia di sana. Di Sapporo, ada banyak orang2 Jepang, yang umumnya wanita, sering bergabung dengan acara2 mahasiwa dan keluarga Indonesia (banyak wanita karena yang pria lebih suka kerja dan mabuk). Mereka tentu mengamati hal2 sederhana yang ternyata terlihat luar biasa dengan budaya yang selama ini mereka jalani.
Hal  yang aneh untuk  mereka melihat suami mencuci piring, atau suami  membawa belanjaan di  mall, atau suami yang menutup dan mengunci pintu  saat sekeluarga  berpergian, atau suami membantu mengganti baju anak di  taman atau  menyuapkan makanan kepada anaknya. Hal yang luar biasa juga  untuk mereka  melihat suami memasak dan menyiapkan makanan untuk  istrinya, atau  bermain dengan anak sementara istrinya duduk dan  membaca.
Mereka pun merasa heran jika melihat mahasiswanya selalu mengantarkan dan tidak membiarkan mahasiswi pulang sendirian malam2. Jepang adalah salah satu negara teraman di dunia. Tidak ada kekhawatiran untuk pulang malam sendirian. Mereka lebih heran lagi jika tahu alasan mengantar tersebut bukan karena takut ada apa-apa di jalan, tapi karena menghargai mereka. Mereka juga akan terheran-heran jika ada yang rela memberikan sepedanya untuk dinaiki sementara yang punyanya berjalan. Pernah suatu kejadian, kita berjalan berlima, tiga pria (mhs Indonesia) dan dua wanita Jepang.
Kita  semua kebetulan  membawa sepeda. Setengah mati kita memaksa dan juga  meyakinkan mereka  untuk memakai dua sepeda kita. Suatu hal yang sulit  dengan bahasa yang  pas-pasan dan perbedaan budaya bertolak belakang.  Terus terang, saat itu  kita menawarkan bukan karena to be gentle, tapi  agar segera sampai ke  tempat tujuan. Tapi tetap saja susah sehingga  kita semua berjalan dan  agak terlambat sampai. Di kejadian lain, dalam  kasus seperti itu,  akhirnya kita tidak lagi menawarkan sepeda tapi  menyuruh dengan tegas,  take this bike or we don’t go.
Kebetulan, di dalam acara kumpul2 atau diskusi membahas sesuatu, hampir semua orang Indonesia, adalah orang2 yang mau mendengar dan menghargai pendapat orang lain. Di setiap diskusi mereka, orang2 Jepang, umumnya diam dan manut saja. Mungkin karena masalah bahasa dan juga merasa posisinya hanya sebagai penggembira dalam kelompok. Tapi kita tetap dan selalu minta pendapat mereka. Kita jelaskan dulu apa yang sedang kita bahas dalam bhs Jepang oleh teman yang bisa. Dan kemudian kita persilahkan mereka bicara dalam bahasa Jepang dan nanti akan diterjemahkan. Mereka mungkin tidak percaya betapa kita mau repot2 menjelaskan dalam bahasa mereka dan kemudian mendengar pendapat kelompok penggembira seperti mereka.
Dalam banyak hal, mereka melihat bahwa bangsa Indonesia memiliki budaya yang lebih baik dibanding dengan budaya mereka, khususnya dalam hubungan pria dan wanita. Dua dari tiga teman wanita Jepang jika ditanya apakah suka dengan pria Indonesia, maka mereka menjawab suka dan yang ketiganya bahkan ingin menikah dengan pria Indonesia. Sebagian besar teman2 Jepang yang sering bergabung adalah mereka yang berumur minimal di akhir 20an, dimana melihat lawan jenis sudah tidak dari tampan dan gagahnya tapi sudah lebih pada karakternya.
Bukti  betapa ‘lakunya’  pria Indonesia di Jepang, adalah setidaknya di  lingkungan Sapporo saja  sudah ditemui sekitar enam keluarga, dimana  suaminya adalah orang  Indonesia.
Barangkali, kebetulan saja, orang2 Indonesia yang datang ke Jepang adalah orang2 pilihan. Tapi jika kita kenal lebih jauh dengan teman2 Jepang itu, kita akan tahu bahwa hampir semuanya sudah pernah ke Indonesia, khususnya Bali. Mereka sudah mengenal dan berinteraksi dengan pria Indonesia ‘langsung dari sumbernya’. Dan pendapat mereka tidak berubah bahwa pria Indonesia lebih menghargai wanita di bandingkan pria Jepang.
Barangkali, kebetulan saja, orang2 Indonesia yang datang ke Jepang adalah orang2 pilihan. Tapi jika kita kenal lebih jauh dengan teman2 Jepang itu, kita akan tahu bahwa hampir semuanya sudah pernah ke Indonesia, khususnya Bali. Mereka sudah mengenal dan berinteraksi dengan pria Indonesia ‘langsung dari sumbernya’. Dan pendapat mereka tidak berubah bahwa pria Indonesia lebih menghargai wanita di bandingkan pria Jepang.


0 komentar to “Pria Indonesia di Mata Wanita Jepang”