Ni Hao Ma, Muslim China

Kamis



Ni Hao Ma, Muslim China

Setelah tahun 1978, Islam menunjukkan tanda kebangkitannya di China. Ratusan masjid dan ratusan imam tumbuh. Kalangan muda mulai rajin belajar Islam!

Karpet-karpet yang terhampar masih terlihat relatif baru. Tanda penunjuk arah, tempat wudu, majalah dinding yang memuat beberapa kliping berita tentang muslim China, denah ruang sholat dan sejarah masjid Niujie semua ditulis dalam dua bahasa, bahasa China dan Inggris. Kesemua itu menandakan bahwa masjid ini terbuka untuk semua bangsa. China telah membuka pintu untuk semua penduduk bumi berkunjung ke Beijing dengan olimpiadenya, termasuk tentunya adalah Muslim yang juga punya hajat khusus dengan berkah olimpiade bulan Juli lalu.

Alhamdulillah, siang itu saya dipertemukan Allah dengan Ma Yuhu, seorang mahasiswa kedokteran di salah universitas negeri di Beijing. Ia menjelaskan, bahwa musim panas lalu ia betul-betul gembira dengan momentum olimpiade karena bisa berkenalan dengan banyak saudara seiman dari berbagai penjuru dunia. Apalagi kemudian muslim Beijing bisa berkontribusi untuk kelancaran even internasional ini. Ia tidak sendiri dalam menyambut kaum muslimin, tapi banyak suka relawan muda berdatangan untuk memandu para tamu Allah yang datang ke Masjid sejak bulan Juli tahun ini. Mereka umumnya cakap berbahasa Arab atau Inggris.

Ma menjelaskan, menjelang dan saat olimpiade berlangsung, Beijing sangat padat dikunjungi pengunjung dari berbagai belahan dunia. Muslim China juga melakukan berbagai persiapan untuk menyambut olimpiade dengan menata masjid mereka. Tak terkecuali, mometum ini dijadikan komunitas muslim untuk menyambut sudara-saudara mereka yang berasal dari berbagai dunia. Ada sekitar 72 masjid di Beijing. Tetapi hanya sekitar 12 masjid besar saja yang dijadikan lokasi ibadah khusus untuk para pengunjung olimpiade dari negara lain.

>> Foto Masjid Niujie

Dengan ditemani Ma Yuhu, siang itu saya diperkenalkan dengan salah seorang imam masjid Niujie.

“Indonesia? Oooo …kata lelaki muda ini dalam bahasa China yang saya tak mengerti, tapi dari mimiknya jelas antusias menyambut. Beberapa imam mampu diajak bercaka-cakap dalam bahasa Arab. Kemudian kami pun bercakap-cakap, berkenalan satu sama lain dengan bantuan Ma Yuhu. Ia mengungkapkan kegembiraannya setiap mendapat kunjungan dari muslim Indonesia. Karena Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia.

Salah seorang imam muda ini menjelaskan bahwa semangat persaudaraan yang disebarkan olimpiade Beijing adalah sama dengan apa yang diinginkan Islam 16 abad lalu. “Olimpiade menyerukan perdamaian dan persaudaraan, dan itulah Islam“ ujarnya.

Jum’at siang itu akhirnya saya menikmati jumat pertama berjamaah di masjid Niujie Beijing. Azan jumat dikumandangkan dua kali. Setelah azan pertama dikumandangkan, para hadirin sholat sunnah lalu dilanjutkan dengan pembacaan quran yang mengutip surat-surat juz amma oleh beberapa imam masjid. Tiap imam membaca beberapa surat bergantian. Lalu dilanjutkan tausiah jumat dalam bahasa China. Setelah tausiah jumat selesai, khotib jumat naik ke atas mimbar dan azan kedua dikumandangkan. Imam jumat menyampaikan khutbah dalam bahasa arab yang fasih.

Sepenggal sejarah

Dari papan tersebut pengunjung akan membaca sejarah ratusan tahun masjid ini. Tercatat bahwa ulama arab yang bernama Nasurutan membangun masjid Niujie tahun 996. Dua buah cap jempol muslim yang berada di masjid adalah warisan sejarah panjang masjid ini. Keduanya adalah milik Ahmad Burdani dari Ghaznavid (sekarang Afghanistan) yang wafat tahun 1280 dan Ali Imadud-Din dari Bukhara (sekarang Uzbekistan) yang wafat tahun 1283. Keduanya berdakwah di Masjid Niujie dan wafat di Beijing.

>> Muslim China

Ulama China menafsirkan bahwa awal masuknya Islam ke China terjadi pada tahun 651 masehi ketika khalifah Utsman bin Affan mengirimkan utusan ke Dinasti Tang (618 – 907 M). Utusan khalifat Utsman dipimpin oleh Shahabat Sa’ad bin Abi Waqqash. Meskipun Islam pertamakali mendarat di China Selatan di kota Quanzhou dan Guangzhou, akan tetapi perkembangan Islam yang pesat justru terjadi di Beijing setelah kota ini menjadi ibu kota negara semenjak dinasti Yuan (1271 – 1368).

Ketika Jengis Khan beserta tentaranya menyerbu ke arah selatan, mereka menawan banyak prajurit Arab, Persia, dan Asia Tengah dan membawa mereka ke China. Para tawanan ini kemudian tinggal di China dan banyak yang menikah dengan suku Han dan suku Mongol. Keturunan mereka inilah kelak yang menjadi cikal bakal generasi suku minoritas Hui. Suku Hui ini mayoritas beragama Islam, dan di Beijing mereka tinggal sebagai bagian dari 250 ribu muslim yang tinggal di ibukota.

Hingga kini, 15 abad kemudian, kaum muslimin yang datang ke Beijing dapat beribadah di masjid Niujie, salah satu bangunan bersejarah pada awal berkembangnya Islam di China. Niujie, yang berarti “jalan sapi jantan“ secara tidak langsung menjadi ciri atau julukan masyarakat sekitar untuk kawasan muslim.

Tidak seperti masjid di negara-negara lain, masjid-masjid di China rata-rata dibangun dengan arsitektur khas perpaduan arsitektur tradisional China dengan nuansa kaligrafi Islami. Tampak sekilas dari luar, pengunjung tidak menyangka bahwa bangunan yang mirip kelenteng ini adalah sebuah masjid.

Di masjid Niujie ini ada meja-meja batu yang pecah yang dibiarkan seolah menjadi barang sejarah masjid. Menurut keterangan, benda-benda itu adalah salah bukti sejarah adanya gerakan anti Islam pada masa lalu. Penyebaran Islam pada masa lalu dilarang dengan alasan semua aktivitas keagamaan dianggap masuk 4 hal yang dilarang: pemikiran lama (old thougths), budaya lama (old culture), tradisi lama (old customs) dan kebiasaan lama (old habits).

Setelah tahun 1978, Islam dan juga agama-agama lainnya kembali menunjukkan tanda kebangkitannya. Tahun 1980-an masjid-masjid kembali dibangun dan dibuka untuk umum. Pelatihan para imam juga dilakukan, bukan hanya di dalam masjid, tapi juga di institut-instut Islam di seluruh China. Kondisi masa lampau membuat muslim China kehilangan rantai kepemimpinan da’i hampir tiga dekade. Alhamdulillah, hingga kini masih ada sekitar 140 imam di Beijing. Rata-rata mereka berusia muda, 20 – 40 tahunan. Hanya beberapa saja yang berusia lebih dari 70 tahun.

Masjid-masjid besar lainnya yang ada di Beijing antara lain masjid agung Dongsi, masjid Nanxiaopo, masjid Jinshifangjie dan masjid Anwai. Masjid Dongshi adalah pusat Islam di Beijing. Dari data masjid Dongshi disebutkan bahwa sebelum tahun 1958 ada sekitar 146 masjid di Beijing. Akan tetapi, ketika meningkatnya “gerakan anti-kanan” akhir tahun 1950, mayoritas masjid tersebut ditutup. Semasa revolusi budaya tahun 1966-1976, hanya masjid Dongshi saja yang terbuka untuk orang asing.

Komunitas Muslim

Setahun lalu, saya berkesempatan mengunjungi Yinchuan, ibu kota provinsi Ningxia. Daerah ini adalah salah satu daerah otonomi yang dikenal daerah dengan daerah komunitas etnik Hui yang mayoritas muslim. Saat ini, di China tinggal 10 juta etnik Hui, 2 juta diantaranya berada di provinsi Ninxia. Musim haji tahun ini, bandara Yinchuan dipercaya pemerintah China untuk pertama kalinya sebagai bandara untuk mengangkut tamu-tamu Allah dari China yang akan berangkat beribadah haji ke tanah suci.

Ningxia, yang berada di Barat Laut China, dikenal pula sebagai salah satu tempat kelahiran peradaban China. “Jalur Sutra” sebagai rantai perdagangan terkenal masa lalu di China selalu melewati daerah ini. Pemandangan kota ini dipenuhi dengan keindahan pegunungan dan sungai. Setiap pengunjuang dan pedagang yang singgah saat itu akan merasa jatuh cinta dengan pemandangan alamnya, terutama dengan pegunungan Helan yang menawan.

Ketika pesawat mendarat, pandangan mata kita akan mudah jatuh pada ucapan “Marhaban yaa Ramadhan” dalam bahasa Arab, China, dan Uyghur. Sepanjang jalan, wisatawan di daerah ini tidak akan kesulitan menemukan masjid yang bertebaran di seluruh kota. Tercatat dari pusat budaya dan informasi islam Ninxia, bahwa kota ini memiliki 700 imam yang mendapat ijin (licensed) dan sekitar 3000 masjid ada di provinsi ini. Banyak kalangan pemuda dan pemudi aktif belajar Islam dan bahasa Arab yang tumbuh subur di kota ini. Di masjid Xi Guan saja terdapat lebih dari 300 mahasiswa yang belajar Islam dan bahasa Arab.

Oleh sebab itu pula, Ninxia memiliki kekayaan budaya yang khas, perpaduan kultur China dan kultur Islam yang hidup bertetangga dengan damai. Perpaduan kultur ini terpelihara sejak zaman dinasti Han dan Tang hingga kini.

Hingga kini, tercatat berdasar statistik bahwa komunitas muslim China berjumlah lebih dari 20 juta orang, yang sebagian besar hidup di provinsi Xinjiang, Qinghai, Ganshu, Ningxia, Yunnan, Shaanxi, Inner Mongolia dan Henan. Etnik Uyghur adalah komunitas muslim terbesar kedua setelah Hui, dikenal dengan etnis “Turki di China” dan berada di daerah otonomi Xinjiang yang berbatasan dengan Kazakhstan, Mongolia, Kirghizstan, Tajikistan Afghanistan, Pakistan, Tibet dan India.

Bagi seorang Ma Yuhu, tentu tidak mudah menjalankan ibadah dengan kondisi demografis, geopolitis serta akibat berbagai rentetan sejarah yang ada. Doa kita kepada Allah agar muslim China diberikan kekuatan iman dan ketabahan adalah harapan mereka. Dan semoga Allah selalu menguatkan ikatan persaudaraan muslim China dengan muslim di dunia lainnya, termasuk Indonesia.

Xiau hui Jian (sampai jumpa lagi) brother Ma Yuhu, gumamku dalam hati dengan langkah berat bersamaan akhir kunjunganku di China. [suhendra, peneliti lembaga nasional pemerintah Jerman di Berlin/hidayatullah.com]

Ni Hao Ma = Apa Kabar

Artikel Lainnya



0 komentar to “Ni Hao Ma, Muslim China”

Bebas Berkomentar..