Agama Shinto

Senin



Agama Shinto




Agama Shinto muncul di Jepang pada abad ke-6 yang dianggap sebagai agama asli orang Jepang. Nama Shinto berasal daro huruf kanji kami [dewa/tuhan] dan michi [jalan] yang pelafalannya diserap dari bahasa mandarin menjadi shin dan tou, yang artinya “Jalan dewa/tuhan”. Ajaran agama Shinto sendiri mengacu pada kepercayaan konfusianisme di China. System kepercayaan yang dianut agama ini animisme karena mempercayai banyak dewa. Menurut agama Shinto, setiap benda atau tempat terdapat kami, mulai dari batu, pohon, air terjun, gunung, hewan, bahkan roh orang meninggal. Karenanya tak heran agama Shinto melakukan penyembahan pada arwah leluhur/ nenek moyang. Karena begitu banyaknya kami dalam agama Shinto, maka muncul sebutan yaoyorozu no Kami yang artinya “delapan juta kami”.



Walau demikian, kami yang paling banyak disembah umat Shinto adalah dewa matahari Amaterasu. Karena itu ajaran agama Shinto pun memuja kaisar Jepang yang dianggap keturunan Amaterasu. Berbeda dengan agama lain, dalam agama Shinto tidak ada ajaran yang pasti, tidak ada tempat ibadah khusus, tidak ada dewa yang benar-benar dianggap paling suci, dan tak ada cara yang pasti bagaimana penyembahan pada para kami. Hal ini disebabkan agama Shinto percaya bahea kami hidup berpindah-pindah tempat.
Agama Shinto dibagi menjadi 4 bagian, yaitu jinja-shinto [Agama Shinto tertua yang menjadi pedoman tradisi Shinto masa kini], shuuha-shinto [Agama Shinto yang berkembang sejak abad 19. mereka tidak memiliki tempat ibadah, namun suka melakukan pemujaan pada kami di gunung, seprti gunung Fuji], minzoku-shinto [Agama Shinto yang mempercayai roh, dewa, dan cenayang. Suka melakukan upacara pemasukan dan pengusiran roh], serta kokka-shinto [Agama Shinto yang hanya berkenmbang pada periode Meiji, di mana kaisar dianggap sebagai Tuhan].



Setelah masuknya agama Budha, kuil-kuil Shinto mulai dibangun sebagai rumah bagi para kami secara permanent [shaden]. Shaden yang pertama kali dibangun berlokasi di Izumo [659] dan Ise [690]. Kuil Shinto dalam bahasa Jepang disebut jinja atau o-miya. Yang membedakan bagunan kuil Shinto dengan kuil Budha adalah adanya sebuah gerbang merah torii. Gerbang torii dipercaya merupakan palang yang memisahkan dunia manusia dengan dunia tempat kami tinggal. Sebuah jinja biasanya terdapat honden dan haiden. Honden adalah sebuah bangunan suci yang dipercaya terdapat goshintai [tubuh suci kami], karenanya tidak boleh dimasuki orang sembarangan. Sedangkan haiden merupakan bangunan yang bebas dimasuki orang awam. Honden yang berupa ruangan kecil tak berdekorasi ini terletak di belakang haiden. Di beberapa jinja yang terkenal, di dekat gerbang torii terdapat shamushi [ruangan tempat tinggal pengurus jinja] dan chouzuya atau tempat menyucikan diri sebelum masuk kuil. Di tempat tersebut terdapat bashin, berupa bak berisi air dan gayung kecil untuk minum atau mencuci muka/tangan. Di sekitar bagunan jinja juga selalu terdapat beberapa dekorasi seperti koma-inu [pantung anjing], toro [lentera], romon [gerbang menara], kaguraden [pavilion tari Shinto], tamagaki [pagar kuil], dll. Sejak periode Nara hingga awal periode Meiji, jarang sekali ditemukan adanya kuil Budha yang dibangun di dekat kuil Shinto, namun ada juga jinja yang di dalamnya terdapat kuil Budha, disebut jinguji. Sebuah jinja biasanya dijaga oleh pengurus yang dinamakan ujiko, kadang ada juga seorang kannushi yang bertindak selaku pemimpin upacara pemujaan. Sedangkan jinguji dijaga oleh pendeta Budha.


Artikel Lainnya



0 komentar to “Agama Shinto”

Bebas Berkomentar..