Jalan-jalan Ke India
Selasa
Jalan-jalan Ke India
Berangkat kurang 1 hari, bergegas menyempatkan diri menonton di gedung bioskop New York Times Square, berebut nonton Slumdog Millionaire, film yang baru memperoleh 8 piala Oscar, berharap dari situ memperoleh sedikit gambaran tentang India hari ini.
Tak ada gedung pencakar langit
Saya harus menggunakan kata "terperanjat" untuk melukiskan perasaan sekilas ketika keluar dari bandara internasional Delhi: dinding halaman rumah yang rendah dan tidak mulus, sampah berserakan, debu, kerikil, kendaraan butut, non stop suara klakson, ternyata sangat mirip dengan pemandangan di luar stasiun bus di kota kabupaten Tiongkok!
Seketika itu saya tercenung, ini ibu kota? Bandara internasional? Sungguh rasanya tak berani mempercayainya. Kemudian mengetahui, sebuah bandara internasional baru sedang dibangun tidak jauh dari sana, sesudah usai, skalanya kemungkinan nomor satu di Asia. Sopir menunjuk ke arah bandara baru, debu betebaran, amat gaduh, juga tak berbeda jauh dengan proyek pembangunan di Tiongkok.
Berkendaraan menuju wilayah kota, tak terlihat bangunan tinggi apapun, hanya terlihat gedung paling banter berlantai 2 hingga 4, sebuah kota sederhana dan jauh dari kemewahan. Namun luasan penghijauan tak terkira, dimana-mana hijau, seluruh Delhi, bagaikan samudera hijau. Akan tetapi, pada dedaunan itu menempel banyak debu, membuatku teringat kata "debu" yang sering muncul di dalam puisi Tagore: Debu jalanan, debu kusen jendela, debu dedaunan, debu pada air hujan yang turun...
Macet di sepanjang jalan, anak-anak berkulit hitam-legam berkerumun mendekat, menjajakan barang dagangan mereka berupa kembang, perhiasan dan lain sebagainya. Pakaian yang dekil pertanda mata pencaharian yang sulit. Hanya saja, tak terlihat baju penuh tambalan yang kami kenakan sewaktu masa kanak-kanak di Tiongkok.
Para anak tersebut berlarian di sela-sela kendaraan, membuat orang-orang was-was akan keselamatan mereka. Kendaraan di jalanan, didominasi mobil lama, kebanyakan adalah bajaj, beroda tiga, berhidung pesek, ramping, dalam dua warna, kuning dan hijau.
Beberapa hari kemudian saya juga berkunjung ke beberapa bangunan moderen Delhi, mal, hotel bintang-5, high class, tetapi jumlah tingkatnya juga tidak terlalu tinggi dan kontras dengan bangunan sekeliling, dengan ibu kota yang kebanyakan dengan gedung rendah dan usang, seolah bagaikan bangau yang berdiri tunggal di antara sekawanan ayam kate. Sesekali ada sapi betina melewati jalan raya dengan santainya, pejalan kaki sudah merasa biasa. Konon, di dalam hati orang India, ia "satwa dewata" yang tak boleh diusik.
Di New Delhi, juga Old Delhi, titik pemisahnya ialah Gerbang India. Itu adalah sebuah bangunan mirip pintu Arc de Triomphe di Paris, hanya, tampak luarnya adalah coklat kemerahan khas India dan bernuansa klasik. Istana presiden dan gedung-gedung pemerintah, parlemen, museum dan lain-lain didirikan di New Delhi, tampak luarnya pada dasarnya coklat kemerahan, inikah warna nasional India?
Belakangan baru diketahui, imperium Mogul yang dimulai abad ke-16, bangunannya banyak menggunakan batu merah (red sandstone), sejak saat itu, benteng kuno dan kuil berwarna coklat kemerahan betebaran di seluruh India.
Cuaca di India panas terik, Maret sudah seperti musim panas di negara lain. Ternyata, empat musim India tidak memiliki musim dingin, malah ditambah satu musim hujan. Cuaca sudah panas, makanannya serba pedas lagi. Makanan dan cara makan yang paling umum ialah, tangan kanan memegang roti bakar, menjumput lauk daging kambing, ayam, sayur dari piring, dicocol dengan saos cabe dan dimakan. Rasanya termasuk enak.
Yang membuat saya heran ialah, di dalam resto India, hanya terdapat pelayan pria, tidak ada pelayan perempuan. Teman lokal memberitahu, lantaran adat dan agama, perempuan India biasanya diam di rumah, kebanyakan perempuannya tidak bekerja, apalagi menampakkan wajahnya di restauran dan semacamnya.
Mudah ditaklukkan
Membahas tentang agama, saya semula mengira, di India, mestinya agama Budha mendominasi. Namun setelah mengunjungi situs kuno satu per satu, ternyata semuanya bangunan Islam berwarna coklat kemerahan.
Sebetulnya, yang mendominasi di India ialah agama Hindu. Bangunan bercorak Islam betebaran dimana-mana bermula dari abad 11, India ditaklukkan oleh suku bangsa Muslim, ditaklukkan dan diperintah dalam jangka waktu lama (kerajaan kesultanan Delhi), lalu agama Islam berjaya.
Tetapi pada abad 16-19, diperintah oleh etnis Turki yang masih keturunan Mongol (kerajaan Mogul). Hanya beragama tunggal yakni Islam. Abad 19-20, orang Inggris hanya dengan sebuah "Kongsi Hindia Timur", sudah nyaris menguasai seluruh India (termasuk Pakistan). Hingga 1947, India barulah merdeka.
Apakah India merupakan bangsa lembek yang mudah ditaklukkan oleh bangsa asing? Teringat November 2008, Bombai kota terbesar di India, hotel mewah Taj Mahal mengalami serangan teror, dimana-mana suara ledakan dan kebakaran, 100 orang lebih tewas, beberapa ratus orang terluka, penyerbunya ditengarai dari "Laskar-e-Toiba".
India meminta pihak Pakistan menangkap dan menyerahkan mereka, pihak Pakistan meski mengutuk serangan teror dan juga menangkapi orang-orang yang dicurigai sebagai teroris, namun menolak menyerahkannya kepada India. Banyak orang di India mengira, India akan memprovokasi Pakistan, tetapi urusan ini sesudah itu tak karuan juntrungannya, membuat orang tak habis pikir.
Situs kuno imperium Mogul yakni Qutub Minar, disebut-sebut sebagai salah satu dari "7 Keajaiban India". Menaranya setinggi 75,56 m, adalah tower tertinggi di India. Setiap lantai dengan bentuk geometri berbeda, dari bentuk segi tiga sampai ke setengah lingkaran dan lain-lain, dibangun menggunakan perpaduan material batu marmer dan batu red sandstone, sebuah bangunan tipikal Islam. Di sekitarnya dipenuhi dengan benteng kuno, makam kuno dan pilar batu yang kebanyakan berwarna coklat kemerahan, sebagian masih utuh, sebagian tinggal puing-puing saja. Di bawah sorotan sinar matahari, persis istana kuno yang terlantar.
Bertoleransi besar
Aliran kepercayaan dan agama di India sangat beragam, maka itu di pusat kota Delhi, terdapat sebuah bangunan moderen berbentuk bunga Lotus putih yang menampung bermacam-macam agama. Kami mengikuti antrian memasuki aula dan sesudah mendapatkan tempat duduk, diberitahu, tak boleh bersuara, hanya boleh di dalam hati berdoa sesuai Tuhan yang dipujanya. Tuhan apapun boleh, bagi kaum atheis, juga diharuskan berdiam diri. Menara bunga lotus yang tinggi besar, melambangkan kebesaran India, daratan di Asia Selatan yang maha toleransi tersebut.
Pada bulan yang sama, orang Tibet yang tinggal di berbagai tempat di India, di dalam rangka memperingati 50 tahun dalam pengasingan, dengan khusus melangsungkan serangkaian kegiatan "Terima Kasih India", menyatakan rasa terima kasih atas kerelaan India untuk menaungi mereka. Dalai lama dan orang Tibet dalam pengasingan, diperbolehkan berdomisili di India, mempertahankan dan menyebarluaskan agama Budha aliran Tibet, memang jasa besar pemerintah india dan rakyatnya tak dapat dihapus begitu saja.
Di New York, saya pernah menjumpai berbagai tokoh manca negara, tatkala membicarakan film berbagai negara. Kesan yang diperoleh ialah, film dari berbagai negara, yang ditayangkan selalu berbeda dengan realita negara itu sendiri. Jangan mempercayai film, begitulah kata orang-orang. Saat itu, saya merasakan, berbicara kebalikan antara film dan realita, India termasuk salah satu yang ter...
Sebelum ini, setiap film India yang pernah saya tonton, hampir semuanya diselipi lagu dan tarian, lagu yang indah, tarian yang rancak, berskala kolosal, entah itu di jalanan, atau di lapangan, atau di pedesaan.
Menjelajahi wilayah seantero India, belum pernah sekali pun menyaksikan pemandangan sendratari dan yanyian seperti di film, atau, pemandangan seperti itu, hanya bisa ditonton di institut kesenian! Seketika itu tersadar, bertari-ria dan bernyanyi-ria, hanyalah semacam bentuk ekspresi kesenian ala film India.
Pakar Ekonomi kelola negara demokrasi besar
Dalam perjalanan panjang dengan naik kendaraan dari Delhi ke Taj Mahal, saya meneliti dengan seksama pedesaan India. Di dataran, terlihat hamparan sawah yang luas dan menguning menjelang panen, gelagatnya menyenangkan.
Penduduk India, 1 miliar jiwa, nomor dua di dunia, kepadatannya lebih tinggi daripada Tiongkok, tetapi tidak nampak bahaya kelaparan. Berbeda dengan Tiongkok yang pernah mengalami Lompatan Besar ke Depan dan Revolusi Kebudayaan yang membawa dampak berlainan.
Keuntungan India terletak pada ia tidak pernah mengalami kerusakan besar. Dipikir lebih mendalam, ini berkat sistem demokrasi, kebebasan pers, pengadilan yang independen, fungsi kontrol partai oposisi, pemerintah mengadakan pemilu, penguasa jika dikontrol, tak mungkin berkelakuan gila-gilaan.
Membaca koran, pileg India, yang tengah berlangsung dengan seru. 700 juta pemilih, dipandang sebagai pelaksana demokrasi berskala besar di seluruh dunia. Tetapi oleh karena waktunya yang mepet, saya menyesal bukan main tak sempat mengenal pemandangan pileg, hanya terkadang sempat melihat poster pemilihan yang nempel di dinding. Dua bulan kemudian hasilnya telah diketahui: partai incumbent (berkuasa saat itu) yang mewakili pedesaan dan kepentingan petani sekali lagi menang, memperoleh banyak kursi di parlemen. Singh sang "pakar ekonomi" akan melanjutkan jabatannya sebagai perdana menteri dan memimpin India untuk bangkit.
Utamakan kesederhanaan
Meski perut kenyang bukan lagi suatu masalah, tetapi kelihatannya, penduduk miskin India masih cukup banyak. Relatif miskin namun kesenjangan antara kaya-miskin tidak begitu mencolok, ini juga tak diragukan lagi berasal dari keseimbangan sistem demokrasi, partai Kongres menerima dukungan luas di pedesaan, sudah cukup menjelaskan persoalan.
Sesekali India mengalami serangan teror berasal dari negara tetangga atau bentrokan antar aliran sempalan agama, tetapi peristiwa bentrok antara penguasa dan rakyat seperti yang terjadi di Tiongkok (PKC menyebutnya "peristiwa bersifat massal" yang setiap tahunnya paling sedikit terjadi puluhan ribu kali), nyaris tak pernah terdengar.
Wajah India yang relatif terbelakang, nampak dari penampilan kota dan desa kuno nan sederhana. Pertumbuhan ekonomi yang pesat, tetapi pembangunan perumahan dan infrastruktur relatif ketinggalan. Saya memperkirakan, kesadaran beragama yang tidak mementingkan kehidupan materi, barangkali adalah salah satu faktor. Old Delhi, dan di kedua sisi jalan menuju ke Taj Mahal, tak sedikit penampilan kota maupun desa, membuat orang geleng-geleng kepala: rumah yang reot, sampah dimana-mana, bau tak sedap, ada orang buang air kecil di pinggir jalan...
Keamanan yang semula saya khawatirkan malah tidak menjadi masalah. Tak pernah mendengar tentang perampokan, juga belum menyaksikan pencurian. Kadang kala yang bikin jengkel ialah pedagang asongan yang menempel terus tak mau pergi. Ini membuat saya teringat Tiongkok era 80-an. Secara keseluruhan, bangsa India, adalah sebuah bangsa yang ramah, dari kesederhanaan bahkan sorot mata yang mengandung sedikit ketakutan, bisa dideteksi hal ini.
Berada di India yang panas dan penuh sesak, tak jarang harus berdiri di pinggir jalan, dengan sabar menanti mobil yang menjemput saya. Setiap kali pedagang asong cilik lewat di samping saya, di dalam benak saya teringat syair Tagore: "Saya rela sebagai pedagang kecil, menjalani kehidupan di jalanan, meneriakkan: gelang, gelang yang cemerlang! Saya rela sebagai seorang tukang taman, menggali tanah di dalam taman, siapapun tak dapat menghalangiku. Saya rela sebagai seorang penjaga malam, setiap malam di jalanan, menenteng lampu dan mengikuti bayangan." Barangkali, yang dikejar oleh kebanyakan orang India ialah kehidupan yang sederhana dan tulus itu!
Taj Mahal - Monumen Cinta
Akhirnya tiba di Taj Mahal, salah satu keajaiban dunia, simbol India. Orang-orang berkata, belum ke Taj Mahal, belum terhitung pernah ke India. Perjalanan cukup panjang, cukup lama pula kunjungannya, demi menyaksikan Taj Mahal, saya meluangkan sehari penuh.
Pengunjung yang berjibun, berbaris panjang sekali di bawah terik matahari. Harga tiket untuk orang luar negeri lebih mahal 50 kali daripada orang India. Taj Mahal sangat luas, pagar luarnya tak lain tak bukan adalah benteng dan tembok yang berwarna coklat kemerahan. Menembus 2 lapis pintu kota, Taj Mahal yang berwarna putih salju, barulah nampak di depan mata. Itu adalah sebuah bangunan berbentuk istana yang keseluruhan bahannya menggunakan batu pualam berwarna putih, dalam 3 dimensi ia berbentuk segi delapan, bagian kubah berbentuk setengah bola, konon paduan antara corak Islam, Persia dan India.
Di depan bangunan makam tersebut terdapat kolam raksasa, di bawah sinar mentari, terefleksi Taj Mahal dalam keadaan terbalik.
Para pelancong sebelum memasuki istana, diharuskan melepas sepatu dahulu, berjalan dengan kaos kaki atau telanjang kaki, untuk proteksi dan penghormatan. Di tengah istana, adalah pusara Shah Jahan, kaisar generasi kelima dinasti Mogul dan selir tercintanya Taj Mahal. Tak boleh difoto, terpaksa hanya berpuas diri dengan meraba pagar makam yang terbuat dari batu pualam, dan melalui celah-celah pagar memelototi bayang-bayang gelap pusara yang terbuat dari batu giok putih.
Dinding batu dan kolom-kolomnya di dalam dan di luar pusara dipenuhi dengan pola ukiran halus, dan menggunakan beraneka batu giok dan permata. Di belakang istana makam, agak di kejauhan, sungai Yamuna yang jernih mengalir dengan perlahan, menghantar angin sejuk sepoi-sepoi. Bersandar di pagar dan memandang di kejauhan, lereng hijau yang rimbun, bunga merah di antara rerumputan hijau, sebuah pesona panorama negara kuno yang sangat luas.
Mausoleum Taj Mahal, diberi julukan "monumen cinta" umat manusia, mengisahkan sebuah kisah cinta yang abadi: Shah Jahan sangat menyayangi selir keduanya yang bernama Mumtaz Mahal yang telah melahirkan 14 anak untuknya. Sialnya sewaktu kelahiran anak ke-14, Mumtaz Mahal meninggal akibat kesulitan dalam melahirkan. Shah Jahan sangat berduka, dalam tempo semalam rambutnya memutih.
Ia lantas memutuskan membangunkan sebuah mausoleum yang tak ada duanya di dunia. Ia mendatangkan batu-batuan dan kayu ternama dari seluruh India dan dunia, setiap hari mempekerjakan 20.000 pekerja proyek yang berlangsung selama 22 tahun, menghabiskan dana raksasa, barulah terbangun salah satu keajaiban dunia ini.
Shah Jahan terlarut oleh kepedihannya, masalah politik tak lagi diurusinya. Tak dinyana, seorang putranya, melancarkan kudeta internal dengan membunuh kakak dan adiknya dan merebut tahta. Shah Jahan sendiri, dikurung oleh anak tersebut di Agra Fort, di dalam 8 tahun akhir hayatnya, ia hanya bisa menerawang melalui jendela kecil benteng kunonya, dengan berlinang air mata memandangi bayangan terbalik Taj Mahal yang berwarna putih giok itu di sungai Yamuna. Setelah wafat, ia dimakamkan di samping istri tercinta di mausoleum Taj Mahal. (Kaifang Hong Kong/Dajiyuan/whs)
0 komentar to “Jalan-jalan Ke India”
=