Alasan Bangsa Jepang Lebih Maju
Mereka yang pernah mendaki Gunung Fuji layak disebut orang bijak.  Namun, mereka yang mendaki untuk kedua kalinya layak disebut orang  bodoh. (Rahasia Pepatah Jepang).
 
Fuji yang berketinggian 3.776 meter merupakan simbol bagi masyarakat Negeri Sakura. Gunung yang dikeramatkan orang Jepang yang berarti ”keabadaian” ini adalah simbol pembangkit semangat bagi masyarakat Jepang untuk terus berpikir kreatif, terlebih ketika keadaan kian mustahil. Inilah salah satu mengapa orang Jepang sukses menguasai dunia meski memiliki segunung kekurangan. Fakta itulah yang diungkapkan Ann Wan Seng dalam bukunya, Rahasia Bisnis Orang Jepang: Belajar dari Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia (terbitan 2006).
 
  
Fuji yang berketinggian 3.776 meter merupakan simbol bagi masyarakat Negeri Sakura. Gunung yang dikeramatkan orang Jepang yang berarti ”keabadaian” ini adalah simbol pembangkit semangat bagi masyarakat Jepang untuk terus berpikir kreatif, terlebih ketika keadaan kian mustahil. Inilah salah satu mengapa orang Jepang sukses menguasai dunia meski memiliki segunung kekurangan. Fakta itulah yang diungkapkan Ann Wan Seng dalam bukunya, Rahasia Bisnis Orang Jepang: Belajar dari Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia (terbitan 2006).
 Dalam buku itu Wan Seng menggambarkan bagaimana  orang Jepang yang berfisik kecil bisa mengalahkan mereka yang berasal  dari Barat.  Setelah bom atom Amerika menghunjam di jantung kota Jepang pada 1945,  semua pakar ekonomi saat itu memastikan Jepang akan segera bangkrut.  Namun, prediksi itu meleset. Dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun,  Jepang mampu bangkit dan bahkan menyaingi perekonomian negara yang  menyerangnya. Terbukti, pendapatan per kapita dan taraf hidup rakyat  Jepang menempati posisi kedua tertinggi di dunia. Pada pertengahan era  1990-an, produk nasional bruto (PNB) Jepang mencapai USD37,5 miliar.

 Angka  tersebut sekaligus menempatkan posisi Jepang di belakang Swiss yang  memiliki PNB tertinggi di dunia sebesar USD113,7 miliar. Selain itu,  Jepang tidak memiliki utang luar negeri.  Dalam pandangan orang Jepang, kekalahan dapat ditebus dengan kemenangan  dan keberhasilan dalam bidang lain.  Bangsa Jepang tidak pernah menyerah dengan segala kekurangan dan  kelemahan. Meski memiliki sumber daya alam yang sedikit, gempa sering  mengancam, orang Jepang berupaya menggunakan segala potensi yang ada  untuk membangun negaranya agar sebanding dengan negara yang kaya dengan  sumber alam.
 
Orang Jepang pandai menempatkan dan memanipulasi segala sumber yang ada sebaik mungkin. Bangsa Jepang cepat dan tanggap bertindak dan tidak menunggu peluang datang, tetapi mencari dan menciptakan sendiri peluang tersebut. Sejatinya, faktor utama kesuksesan bangsa Jepang terletak pada etos kerja, kreativitas, dan paradigma pantang menyerah. Bangsa Jepang dinilai rajin dan optimistis. Prinsip kesungguhan, disiplin ketat, usaha, dan semangat kerja keras (spirit bushido) rakyat Jepang diwariskan secara turun-temurun.
 
Kedisiplinan bangsa Jepang dikaitkan dengan harga diri (disiplin Samurai). Sejarah membuktikan, Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun di bawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika Restorasi Meiji (meiji ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner. Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Selain menjadi pengimpor minyak bumi, batu bara, biji besi dan kayu, sebanyak 85 persen sumber energi Jepang berasal dari negara lain, termasuk Indonesia.
Orang Jepang pandai menempatkan dan memanipulasi segala sumber yang ada sebaik mungkin. Bangsa Jepang cepat dan tanggap bertindak dan tidak menunggu peluang datang, tetapi mencari dan menciptakan sendiri peluang tersebut. Sejatinya, faktor utama kesuksesan bangsa Jepang terletak pada etos kerja, kreativitas, dan paradigma pantang menyerah. Bangsa Jepang dinilai rajin dan optimistis. Prinsip kesungguhan, disiplin ketat, usaha, dan semangat kerja keras (spirit bushido) rakyat Jepang diwariskan secara turun-temurun.
Kedisiplinan bangsa Jepang dikaitkan dengan harga diri (disiplin Samurai). Sejarah membuktikan, Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun di bawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika Restorasi Meiji (meiji ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner. Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Selain menjadi pengimpor minyak bumi, batu bara, biji besi dan kayu, sebanyak 85 persen sumber energi Jepang berasal dari negara lain, termasuk Indonesia.

Rentetan bencana terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di  Hiroshima dan Nagasaki, disusul dengan kalah perangnya Jepang, ditambah  adanya gempa bumi besar di Tokyo. Namun, ternyata Jepang tidak habis.  Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang sudah berhasil membangun industri  automotif dan bahkan kereta cepat (shinkansen). Sebenarnya, etos dan  budaya kerja orang Jepang tidak jauh beda dengan bangsa Asia lain  seperti China dan Korea yang juga pekerja keras. Namun, mengapa bangsa Jepang lebih berhasil dan maju dibandingkan  bangsa Asia lain?
Ternyata, orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran. Mereka merasa lebih dihargai jika diberi tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan. Pada 1960, rata-rata jam kerja pekerja Jepang adalah 2.450 jam/ tahun.
Pada 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun. Namun, jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika Serikat (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun). Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat kerja. Di Jepang, orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang tidak penting, malas, dan tidak produktif.
Bahkan istri-istri orang Jepang lebih bangga bila suami mereka ”gila kerja” bukan ”kerja gila”. Sebab hal itu juga menjadi pertanda suatu status sosial yang tinggi. Untuk melancarkan urusan pekerjaan, orang Jepang memegang teguh prinsip tepat waktu dengan tertib dan disiplin. Kedua elemen itu menjadi dasar kemakmuran ekonomi yang dicapai Jepang sampai saat ini. Seperti pahlawan dalam cerita rakyat Jepang, si samurai buta Zatoichi, Jepang harus memastikan segala-galanya, termasuk rakyatnya, senantiasa bergerak cepat menghadapi perubahan di sekelilingnya.
 Jika  semuanya berhenti bergerak, ekonomi Jepang akan runtuh seperti Zatoichi  yang luka dan mati karena gagal mempertahankan diri dari serangan musuh.  Sebab ia tidak bergerak dan hanya dalam keadaan statis. Ketika para  pekerja di negara-negara Barat mengalami penurunan produktivitas, di  Jepang justru tampak prestasi yang menakjubkan. Pada 1975 misalnya,  setiap sembilan hari seorang pekerja Jepang menghasilkan sebuah mobil  seharga 1.000 poundsterling. Sementara pekerja di perusahaan Leyland  Motors, Inggris, membutuhkan 47 hari untuk menghasilkan mobil dengan  harga yang sama. Seorang pekerja di Jepang rata-rata dapat melakukan  pekerjaan yang seharusnya dilakukan enam sampai tujuh orang di negara  lain.


Selain itu, budaya malu di Jepang juga  menjadi faktor yang cukup menentukan keberhasilan. Malu adalah budaya  leluhur dan turun-temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri dengan  menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu  ketika mereka kalah dalam pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya  sedikit berubah ke fenomena ”mengundurkan diri” bagi para pejabat yang  terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan tugas. Orang Jepang juga  memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian.
 
 
Sikap  antikonsumerisme berlebihan ini tampak dalam berbagai bidang kehidupan.  Banyak orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekira pukul  19.30. Sudah menjadi hal biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong  harga sampai separuh pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. Di  Jepang, supermarket rata-rata tutup pada pukul 20.00. Di samping itu,  loyalitas membuat sistem karier di sebuah perusahaan berjalan dan  tertata dengan rapi. Sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah  pekerjaan. Mereka biasanya bertahan di satu atau dua perusahaan sampai  pensiun. Yang tak kalah penting dari budaya bangsa Jepang adalah  membaca.
Di Jepang pada setiap densha (kereta listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Hal lain yang cukup menarik adalah hingga saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata ”tidak” apabila mendapat tawaran dari orang lain.


0 komentar to “Alasan Bangsa Jepang Lebih Maju”