Permulaan Gerakan Zeonis
Sabtu
Permulaan Gerakan Zeonis
Theodor  Herzl, salah satu simbol  gerakan zionis
Kepulan asap mesiu membubung tinggi di udara Gaza. Darah terus   tertumpah. Seolah tak dapat dipercaya inilah tanah yang dipaparkan dalam   kisah para nabi. Dalam jurnal Historian yang terbit tahun 2009,  Ritchie  Ovendale memaparkan asal muasal konflik Arab-Israel.
 Mantan profesor politik internasional Universitas Wales, Inggris, ini   menyatakan, sikap anti-Semit sebagai istilah yang muncul pada 1860 di   Eropa menjadi cikal bakal pergerakan kaum Yahudi. Di Rusia, sikap   anti-Semit ini disebut pogroms. Periode Dreyfus menandai imigrasi Yahudi   Eropa, kemudian menetap di Kanada, Inggris, Australia, dan Afrika   Selatan.
 Sebagian lagi berimigrasi ke wilayah Kekhalifahan Utsmaniyyah, yakni   Palestina. Jumlah terbesarnya mendarat di AS. Ide 'Tanah Air' bagi kaum   Yahudi digelindingkan pertama kali oleh Leon Pinsker pada 1882 lewat   buku Auto-Emancipation. Maknanya dipahami sebagai 'pendirian kembali'   tanah air Yahudi di Palestina atau Eretz-Israel.
 Adapun kata zionis pertama kali digunakan Nathan Birnbaum dalam artikel   pada 1886. Secara politis, zionisme diadopsi Theodore Herzl dalam   tulisannya, Der Judenstaat (Negeri Kaum Yahudi), yang terbit di Wina,   Austria, pada 1896. Herzl memiliki dua pilihan lokasi tanah air, yaitu   Argentina atau Palestina.
 Argentina, menurut Herzl, punya kondisi alam yang kaya, wilayah luas,   populasi sedikit, dan cuaca sedang. Tapi, pilihan kemudian jatuh ke   Palestina, bersandar pada Kitab Perjanjian Lama sebagai tanah yang   dijanjikan (the promised land).
 Kongres zionis pertama di Basel pada 1897 yang diikuti manuver taktis   Max Nordau mengubah istilah tanah air ini menjadi heimmstatte, yang   diadopsi sebagai sinonim negara. Setelah itu, muncullah World Zionist   Organisation, bendera negara, Hatiqva sebagai lagu kebangsaan, dan   Jewish National Fund.
 Herzl mengembuskan napas terakhir pada 1904. Ia bak mitos yang   diagung-agungkan pendukung zionisme. Pada akhir konferensi di Basel, ia   mencatat dalam diarinya bahwa di Basel, ia berhasil mendirikan negara   Yahudi. Setengah abad kemudian, orang menyadari ambisinya menjadi   kenyataan.
 Penerus Herzl, Chaim Weizzman, tinggal di Manchester, Inggris. Pada   1906, ia melakukan pendekatan ke berbagai pihak, termasuk Arthur John   Balfour. Meski sudah berstatus mantan perdana menteri, Balfour masih   berada dalam lingkaran kekuasaan Inggris. Saat itu, populasi Yahudi di   Palestina belum mencapai 10 persen dibandingkan bangsa Arab.
 Pada 1917, Kabinet Perang Inggris mengizinkan Balfour yang saat itu   menteri luar negeri memberikan surat simpati kepada tujuan zionisme.   Surat yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour ini menyebutkan,   "Pemerintahan yang mulia bersimpati bagi berdirinya sebuah national home   di Palestina bagi bangsa Yahudi ...."
 Di hadapan Kabinet Perang, Balfour berharap mendulang simpati sehingga   populasi Yahudi di Rusia dan AS akan mendesak pemerintah mereka untuk   mendukung Inggris. Dukungan ini akan membantu propaganda di kedua negara   agar mendukung Inggris memenangkan Perang Dunia I. Lobi zionis,   terutama di AS, amat kuat.
 Namun, pada 1919, dukungan pada zionisme di Inggris makin melemah.   Banyak pendukung zionisme menyadari bahwa tujuan mereka adalah   mendirikan negara di Palestina. Sebutan national home dalam Deklarasi   Balfour diterjemahkan menjadi negara. Imigrasi pun terus dimobilisasi.
 
Arthur  John Balfour, mantan perdana  menteri Inggris yang juga berperan penting  bagi gerakan Zionis
Seiring munculnya gejolak perlawanan di Palestina, Inggris memutuskan   menjauh dari zionisme. Mereka juga melihat lahan yang tersedia tak lagi   mencukupi bagi kedatangan kaum Yahudi. Inggris juga menilai telah   memenuhi janji pada Deklarasi Balfour. Adolf Hitler menjadi Kanselir   Jerman pada 1933 meningkatkan imigrasi kaum Yahudi Jerman ke Palestina.   Aksi ini mengundang perlawanan bangsa Arab, namun ditumpas Inggris.
 Tapi, kepentingan atas minyak dunia Arab juga membuat Inggris berpikir   ulang mengenai zionisme. Pada 1939, Inggris mengeluarkan 'buku putih'   yang menyebutkan kebijakan Inggris bukanlah menjadikan Palestina sebagai   negara kaum Yahudi. Langkah ini mengundang reaksi kaum zionis. Aksi   teror pun mereka lakukan.
 Zionis mendirikan Irgun Zvai Leumi yang bertujuan 'melancarkan kampanye   teror terhadap populasi Arab'. Pada 1942, Irgun dipimpin Manachem Begin   kelak menjadi perdana menteri Israel. Serangan pun mulai diarahkan   kepada lambang-lambang kekuasaan Inggris di Timur Tengah. Inggris   terdesak. Dukungannya pada zionisme menjadi bumerang. Sementara itu,   lobi zionis terhadap Pemerintah AS semakin ditingkatkan, misalnya lewat   electoral punishment, menarik dukungan mereka pada pemilu.
 Kemenangan kaum zionis, tulis Ovendale, didukung mesin propaganda serta   akses media. Kelebihan lainnya adalah dengan menggunakan Holocaust  untuk  mendulang simpati.Setelah menyerahkan mandat Palestina kepada  PBB, pada  1947 Majelis Umum PBB pun melakukan voting pemecahan wilayah  Palestina.  Zionisme meraih kemenangan lewat Resolusi 181 yang dikenal  dengan  Partition Plan. Tanah Palestina terbagi tiga: wilayah Arab,  wilayah  Yahudi, dan Yerusalem yang berstatus di bawah pengawasan  internasional.
 Partition Plan mendorong kaum zionis untuk mendeklarasikan berdirinya   negara Israel, 14 Mei 1948. Pada 1949, pengungsi Palestina yang terusir   nyaris mencapai satu juta jiwa. Bagi bangsa Arab, Palestina adalah  tanah  air mereka. Hingga kini, kedudukan Palestina-Israel tak setara.   Palestina hingga kini tetap tidak diakui sebuah negara.
 Edward W Said, profesor di Columbia University, AS, yang menulis   setidaknya delapan buku mengenai Palestina, mendukung Palestina-Israel   hidup berdampingan secara damai asalkan agresi militer dan penindasan   terhadap Palestina diakhiri Israel. Meski terbilang moderat, Said   menyatakan, zionis ingin menghentikan langkahnya.
 Saat penganut Kristen Episkopalian yang lahir di Nazareth, Yerusalem,   ini mengunjungi penjara Khiam yang dibangun Israel di Lebanon selatan,   dia memotretnya. Esoknya, media Israel dan Barat memuat Said sebagai   'teroris pelempar batu, pria pecinta kekerasan, dan lain-lain'. Dia   menilai, tindakan itu sebagai 'propaganda zionis yang penuh permusuhan'.
 Pada 2001, tulis Said, "Israel menyewa pengacara AS keturunan Israel   untuk 'menyelidiki' 10 tahun pertama kehidupan saya dan 'membuktikan'   saya tidak pernah tinggal di sana meski lahir di Yerusalem. Mungkin, ini   menunjukkan saya pembohong yang keliru menafsirkan 'hak untuk pulang'.   Padahal, 'hak untuk pulang' memungkinkan kaum Yahudi dari mana saja   datang dan tinggal di Israel meski tak pernah menginjakkan kaki di   Israel."
 Sejauh ini, Holocaust menjadi senjata kampanye yang ampuh bagi kaum   zionis. Media tampaknya menjadi tulang punggungnya. Seperti diakui Said   dalam bukunya, The Question of Palestine, yang menyoroti siaran  televisi  NBC musim semi 1978. "... Sebagian program tersebut ditujukan  sebagai  justifikasi dari zionisme--meskipun pada saat yang nyaris  bersamaan,  pasukan Israel di Lebanon melakukan penghancuran, dengan  ribuan korban  nyawa warga sipil, dan penderitaan yang tak terucapkan.  Namun, hanya  segelintir wartawan yang berani menggambarkan aksi itu  mirip  penghancuran yang dilakukan AS di Vietnam."   


