Menatap 'Gaza' Dari 'Washington'
Pada 16 Maret 2003, sebuah peristiwa besar luput dari perhatian dunia. Hari itu, Rachel Corrie, seorang wanita berkebangsaan Amerika Serikat berusia 23 tahun menjadi tumbal bagi sebuah perjuangan hak asasi manusia dalam memperoleh perumahan yang layak. Ketika itu dia berjuang sendirian, berhadapan dengan kekuatan raksasa yang menakutkan dunia.
Pada hari nahas itu, Rachel mengambil posisi telentang di antara  rumah  warga Palestina dan deretan buldozer milik Israel, di kawasan  Rafah,  Jalur Gaza. Wanita ini melakukan aksinya untuk menentang  penggusuran  ilegal yang dilakukan Israel atas rumah-rumah milik warga  Palestina.
 Tapi sebagaimana kita tahu, Israel bukanlah sebuah rezim yang bisa   luluh oleh sikap Rachel. Maka, tanpa pikir panjang, buldozer-buldozer   itu pun akhirnya melindas tubuh Rachel menuju rumah-rumah warga   Palestina, yang menjadi sasaran utamanya.
Seketika nyawa meregang dari tubuh Rachel, sosoknya pun kemudian   menjadi sulit dikenali. Tapi tak banyak yang tahu, apalagi peduli.   Kuatnya kekuasaan yang dimiliki Israel dengan back up dari Amerika   Serikat, menjadikan nama Rachel hilang dari sejarah, meski video yang   menggambarkan Rachel tengah meregang nyawa itu bertebaran di YouTube.
Namun tidak semuanya lupa. Sebuah lembaga bernama The Centre On  Housing  Rights and Eviction (COHRE) memberikan penghargaan Pembela  Hak-hak  Perumahan 2003 kepadanya. Rachel dianggap sebagai ikon dari  sebuah  penentangan terhadap ketidakadilan yang masih saja subur di muka  bumi  ini. Penghargaan itu juga sebagai penghormatan atas kekuatan,  dedikasi  dan keberanian Rachel yang telah menempuh risiko maksimal untuk  sebuah  perjuangan HAM.
Tujuh tahun kemudian, tepatnya pagi hari 31 Mei 2010, iring-iringan   enam kapal di perairan yang tengah menuju Jalur Gaza dihentikan tentara   Israel. Kali ini belasan nyawa meregang. Misi kemanusiaan itu pun   terhenti. Dunia kembali berteriak, meski sejak awal sudah diyakini tak   akan membuat Israel bertekuk lutut pada hukum moralitas dan kemanusian   yang umumnya dianut dunia internasional.
Tapi, apakah kemudian insiden ini membuat asa itu padam? Ternyata   tidak. Tanpa banyak diketahui publik, sebenarnya ada tujuh kapal yang   ikut dalam rombongan ke Gaza yang kemudian “dibajak” pasukan Zionis itu.   Namun, kapal ketujuh ini tertinggal jauh dari rombongan karena   kerusakan mesin. Dan, kapal itu bernama Rachel Corrie.
Di atas kapal ini, terdapat 15 orang aktivis. Di antaranya adalah   Pemenang Nobel Perdamaian Irlandia Utara Mairead Corrigan-Maguire,   mantan diplomat senior PBB asal Irlandia, Denis Halliday, dan beberapa   warga Irlandia lainnya. Meski enam kapal rekannya tak kuat menembus   blokade, mereka tetap bertekad melanjutkan perjalanan.
Pemerintah Irlandia sendiri sudah resmi meminta Pemerintah Israel  agar  mengizinkan kapal milik Irlandia itu merampungkan perjalanannya dan   menurunkan pasokan bantuan kemanusiaan di Gaza. Namun, permintaan itu   telah ditolak pihak Israel.
Tapi, bukan itu yang menarik dari kehadiran MV Rachel Corrie, sebuah   kapal dagang yang dibeli para aktivis pro-Palestina. Rachel seorang   warga AS, namun adalah aktivis Irlandia yang kemudian dengan bangga   memberi nama kapal mereka dengan sosok wanita pemberani itu. Mestinya   ini tamparan memalukan bagi AS, karena penghargaan bagi warganya justru   diberikan negara lain, sementara di negaranya nama Rachel seolah haram   untuk diucapkan.
Pada dasarnya, AS memang tak pernah sungguh-sungguh menginginkan   Palestina menjadi sebuah negara yang berdaulat. Kalaupun secara kasat   mata AS terlihat ingin membentuk kawasan Timur Tengah yang lebih tenang,   itu tak lebih untuk membangun citranya sebagai adikuasa. Dengar saja   ucapan Presiden AS Barack Obama dalam beberapa kesempatan yang terasa   indah dan menenangkan, tapi tak sesuai dengan kebijakan yang diambil   pemerintahannya.
Misalnya, pidato Senator Obama di Grant Park, Chicago, Illinois,   setelah memenangkan Pemilihan Presiden AS pada Selasa 4 November 2008.   Di depan para pendukungnya antara lain dia mengatakan: Dan untuk   semua yang malam ini menyaksikan dari luar pantai-pantai kita, dari   gedung-gedung parlemen dan istana-istana, bagi mereka yang mendengarkan   dari radio di sudut dunia yang terlupakan, cerita kita satu dan nasib   kita saling terhubung. Fajar baru kepemimpinan Amerika sedang   menyingsing. Kepada kalian yang meruntuhkan dunia, kami akan mengalahkan   kalian. Kepada kalian yang mencari perdamaian dan keamanan, kami   mendukung kalian.
Penggalan pidato di atas ternyata jauh dari apa yang kita lihat saat   ini. Apa yang dilalukan Israel di perairan internasional terhadap para   relawan kemanusiaan dari berbagai negara pada dini hari itu jelas-jelas   sudah meruntuhkan tatanan hukum yang dianut dunia internasional. Di  sisi  lain, apa yang dilakukan para relawan adalah bagian dari pencarian   kedamaian dunia dan rasa aman bagi rakyat Palestina.
Tapi, yang kita lihat kemudian, Obama tak mampu berkata-kata. Dia  hanya  buru-buru menelepon Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan  untuk  menyatakan simpati. Sedangkan untuk Israel, tak ada sama sekali  kritik  atau nada kecewa atas perilaku keji yang diperlihatkan negara  itu.  Bahkan, Wakil Presiden Amerika Serikat Joe Biden terang-terangan   membela blokade yang dilakukan Israel atas Gaza. Menurutnya, Israel   berhak membela diri, karena relawan memaksa masuk ke wilayah Gaza yang   diblokade Israel.
Pada kesempatan lain, Obama juga berpidato untuk pertama kalinya   sebagai Presiden ke-44 AS, pada Selasa 20 Januari 2009, di Capitol Hill,   Washington D.C. Dengan nada pelan dia berucap: Bagi dunia Muslim,   kami akan mencari cara baru ke depan berdasarkan pada kepentingan   bersama dan saling menghormati. Bagi para pemimpin dunia yang berusaha   menanam bibit konflik, atau menyalahkan dunia Barat atas   kesulitan-kesulitan yang dialami masyarakatnya, ketahuilah bahwa rakyat   Anda akan menilai Anda pada apa yang Anda bangun, bukan pada apa yang   Anda musnahkan. Bagi mereka yang hendak menggenggam kekuasaan melalui   korupsi dan kekejian dan membungkam orang yang tidak setuju pada   kebijakan mereka, yakinlah bahwa kalian berada pada sisi yang keliru,   tapi kami akan mengulurkan tangan jika kalian tidak lagi mengepalkan   tinju.
Semua hal-hal negatif yang dia sebutkan, seperti pemimpin yang  berusaha  menanam bibit konflik dan mereka yang membungkam pihak yang  tidak  setuju, bukankah identik dengan perilaku yang ditunjukkan Israel?   Lantas, kenapa Obama tak memberikan sedikitpun pernyataan bahwa negara   yang dilindunginya itu telah berbuat keliru?
Sebenarnya, jawaban untuk semua itu sudah diucapkan Obama dalam   kunjungannya ke Mesir, Kamis 4 Juni 2009. Selama 55 menit Obama   berbicara di aula Universitas Kairo. Pidatonya secara khusus membahas   Islam dan AS, termasuk terorisme, isu Irak, Iran, dan konflik   Israel-Palestina. Di antara pidato panjang itu Obama mengatakan: Ikatan   yang kuat antara Amerika dan Israel telah banyak diketahui. Ikatan ini   tidak dapat dipatahkan. Ini lahir berdasarkan ikatan budaya dan  sejarah,  serta pengakuan bahwa aspirasi atas sebuah tanah air Yahudi  berakar  dari sebuah sejarah tragis yang tidak bisa diingkari.
Namun, pada bagian lain dia juga menaruh empati pada nasib bangsa   Palestina, dengan mengatakan: Di sisi lain, tidak bisa diingkari   bahwa rakyat Palestina –baik yang Muslim maupun yang Kristen– telah   menderita dalam perjuangan memperoleh tanah air. Lebih dari enam puluh   tahun, mereka telah merasakan sakitnya tidak memiliki tempat tinggal.   Banyak yang menunggu di kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat, Gaza, dan   tanah-tanah tetangga untuk sebuah kehidupan yang damai dan aman yang   belum pernah mereka jalani. Mereka menerima hinaan setiap hari –besar   dan kecil– yang hadir bersama pendudukan. Jadi janganlah ada keraguan:   situasi yang dihadapi rakyat Palestina tidaklah dapat ditoleransi.   Amerika tidak akan bersikap tidak acuh terhadap aspirasi sah Palestina   atas martabat, kesempatan, dan sebuah negara milik mereka sendiri.
Sekarang, dengan sikap yang ditunjukkan, apakah bisa dikategorikan   bahwa AS cukup acuh dengan blokade yang dilakukan Israel atas Gaza.   Acuhkah AS akan banyaknya korban tak berdosa yang jatuh karena   “kesalahan” mereka memberi bantuan bagi sesama di bumi Palestina? Tidak,   Obama lebih memilih untuk berjoged dengan Paul McCartney di Gedung   Putih saat menyerahkan hadiah Gershwin bagi mantan personel The Beatles   itu ketimbang menelepon Benjamin Netanyahu guna menyatakan penyesalan.
Nyatalah sudah, tak mungkin ada empati bagi korban Mavi Marmara dari   Washington. Jika kita berlogika, sepanjang AS tak terganggu dengan   tewasnya warga mereka yang bernama Rachel Corrie oleh buldozer Israel,   sulit untuk mengharapkan Washington akan bersuara ketika warga negara   lain ditembak pasukan Zionis. Kita layak bersedih karena terlalu “mabuk”   dengan jalinan kata demi kata yang menjadi kalimat indah di banyak   panggung tempatnya berpidato, padahal sejatinya dia tak berbeda dari   pemimpin AS lainnya.
Saya awalnya termasuk orang yang bergembira dengan rencana kedatangan   Obama ke Indonesia di bulan ini. Kini semuanya berubah. Saya tak lagi   melihat wajah sebuah perubahan yang dijanjikan dalam sosok Obama. Dia   bukanlah contoh figur yang bisa mempersatukan banyak perbedaan di   tumpukan kemelut yang mengancam dunia. Dia tetap saja Presiden AS yang   tunduk pada kekerasan yang diumbar negara sahabat terdekatnya itu.   Bahkan, nuraninya tak tersentuh saat mendengar belasan manusia bebas   dibantai di laut lepas tanpa ampun. Obama tetap bungkam dan menatap Gaza   dari Washington dengan sebelah mata   

