Ashabul Kahfi
Jumat
Ashabul Kahfi
Saya  sangat menyenangi kisah - kisah takjub dari dalam maupun luar negeri,  karena itu saya juga menulis berbagai kisah tersebut di blog saya ini,  meskipun saya ambil dari blog atau website lain, tetapi sumber artikel  tetap akan saya tulis, sebagai ucapan rasa terima kasih saya kepada  pemilik blog/web.
Dalam surat al-Kahfi, Allah SWT menceritakan  tiga kisah masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan nabi  Musa as dan nabi Khidzir as serta kisah Dzulqarnain. Kisah Ashabul Kahfi  mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surat dimana  terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi  karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah dalam al-Quran lainnya,  bukan merupakan kisah semata, tapi juga terdapat banyak pelajaran  (ibrah) didalamnya.
Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang  beriman yang hidup pada masa Raja Diqyanus di Romawi, beberapa ratus  tahun sebelum diutusnya nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat  penyembah berhala dengan seorang raja yang dzalim. Ketika sang raja  mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang  raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk  mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan lari,  dikejarlah mereka untuk dibunuh. Ketika mereka lari dari kejaran pasukan  raja, sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat  persembunyian.
Dengan izin Allah mereka kemudian ditidurkan  selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika  masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja  yang beriman kepada Allah SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-'Adzim;  jilid:3 ; hal.67-71).
Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi  (Penghuni Gua) yang ditafsir secara jelas jalan ceritanya.....
Dengan  panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566  meriwayatkan sebagai berikut:
Di kala Umar Ibnul Khattab  memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya  beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: "Hai  Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan  sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting  kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami  mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad  benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi  jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang  Nabi."
"Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian  inginkan," sahut Khalifah Umar.
"Jelaskan kepada kami tentang  induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya  pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. "Terangkan kepada  kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya,  apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat  memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan  jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat  berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan  dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang  dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah  yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang  dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan  oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh  keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung  pipit pada waktu ia sedang berkicau?"
Khalifah Umar menundukkan  kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: "Bagi Umar, jika ia  menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak  diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''
Mendengar  jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya  berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: "Sekarang kami  bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu  adalah bathil!"
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera  bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu  sebentar!"
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib.  Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama  Islam!"
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: "Mengapa?"
Salman  kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul  Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar,  berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau  leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi  Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya,  sambil berkata: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu  kupanggil!"
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang  sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata: "Silakan  kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah  s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu  itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!"
Pendeta-pendeta Yahudi  itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali  bin Abi Thalib berkata: "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada  kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab  pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat,  kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!"
"Ya  baik!" jawab mereka.
"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata  Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: "Apakah induk kunci  (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?"
"Induk kunci itu,"  jawab Ali bin Abi Thalib, "ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba  Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya  tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!"
Para pendeta  Yahudi bertanya lagi: "Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu  langit?"
Ali bin Abi Thalib menjawab: "Anak kunci itu ialah  kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah  Rasul Allah!"
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara  mereka, sambil berkata: "Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih  lanjut: "Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang  dapat berjalan bersama penghuninya!"
"Kuburan itu ialah ikan hiu  (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali bin Abi Thalib.  "Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!"
Pendeta-pendeta  itu meneruskan pertanyaannya lagi: "Jelaskan kepada kami tentang  makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk  itu bukan manusia dan bukan jin!"
Ali bin Abi Thalib menjawab:  "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas  salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: "Hai para semut, masuklah ke  dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan  pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!"
Para pendeta  Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: "Beritahukan kepada kami tentang  lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak  satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan  ibunya atau induknya!"
Ali bin Abi Thalib menjawab: "Lima  makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh.  Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma  menjadi seekor ular)."
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi  itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan  oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: "Kami bersaksi bahwa tiada tuhan  selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"
Tetapi seorang  pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi  Thalib: "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang  sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang  masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda."
"Tanyakanlah  apa saja yang kau inginkan," sahut Imam Ali.
"Coba terangkan  kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama  309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat  tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib  menjawab: "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua.  Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada  Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."
Pendeta  Yahudi itu menyahut: "Aku sudah banyak mendengar tentang Qur'an kalian  itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama  mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama  anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari  awal sampai akhir!"
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan  duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah  yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: "Hai saudara Yahudi,  Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa  kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus,  atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman  dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu  berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah  Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik.  Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh  seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat  congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan  pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota  itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana."
Baru  sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus  bertanya: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk  Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"
Ali bin  Abi Thalib menerangkan: "Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana  yang sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (=  kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah  seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah  seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu  bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam  apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah  timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah,  demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit  sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat  sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta.  Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas.  Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga  disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan  penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan  mengenakan mahkota di atas kepala."
Sampai di situ pendeta yang  bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: "Jika engkau benar-benar tahu,  coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"
"Hai  saudara Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "mahkota raja itu terbuat  dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan  mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi  kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari  anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera  berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau.  Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah.  Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di  belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari  anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau  pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa  berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu  berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang  tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."
Pendeta yang  bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: "Hai Ali, jika yang kau katakan  itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu  raja itu!"
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab:  "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga  orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama  Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang  berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan  Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap  hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua  hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap  raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian  murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga.  Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa  burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang  di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di  dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya,  sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian  si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu  terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni.  Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan  bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis  dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat  suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja,  sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala  raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan  selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit  apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur,  berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian  kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku  diri sebagai "tuhan" dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.
Raja  itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang  siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam  hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak  bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu  semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama,  semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka  tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.
Pada suatu hari  perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan  mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi  tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah  kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja.  Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota  yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri  jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang  berdiri di sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha--  memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir,  lalu berkata di dalam hati: "Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan  sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak  tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah  sifat-sifat Tuhan."
Enam orang pembantu raja itu tiap hari  selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara  bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan  lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan  minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum.  Teman-temannya bertanya: "Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan  dan tidak mau minum?"
"Teman-teman," sahut Tamlikha, "hatiku  sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan  tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur."
Teman-temannya  mengejar: "Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?"
"Sudah  lama aku memikirkan soal langit," ujar Tamlikha menjelaskan. "Aku lalu  bertanya pada diriku sendiri: 'siapakah yang mengangkatnya ke atas  sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari  atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang  menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias  langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian kupikirkan juga  bumi ini: 'Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala?  Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah,  tidak goncang dan tidak miring?' Aku juga lama sekali memikirkan diriku  sendiri: 'Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku?  Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya  itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"
Teman-teman  Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi  sambil berkata: "Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu  seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau  tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!"
"Saudara-saudara,"  jawab Tamlikha, "baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain  harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta  langit dan bumi!"
"Kami setuju dengan pendapatmu," sahut  teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi  untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3  dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat  berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah  berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada  teman-temannya: "Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja  dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan  marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan  kita serta memberikan jalan keluar."
Mereka turun dari kudanya  masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka  bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba  datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu  mereka bertanya: "Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum  atau susu?"
"Aku mempunyai semua yang kalian inginkan," sahut  penggembala itu. "Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum  bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan  kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!"
"Ah…,  susahnya orang ini," jawab mereka. "Kami sudah memeluk suatu agama, kami  tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan  yang sebenarnya?"
"Ya," jawab penggembala itu.
Tamlikha  dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri  mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut  di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: "Dalam  hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian.  Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan  kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali  lagi kepada kalian."
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti.  Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing  gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti  oleh seekor anjing miliknya."
Waktu cerita Imam Ali sampai di  situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata:  "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna  anjing itu dan siapakah namanya?"
"Hai saudara Yahudi," kata Ali  bin Abi Thalib memberitahukan, "kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w.  menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan  bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing,  masing-masing saling berkata kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau  anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada  penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.
Anjing  itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua  kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan  jelas sekali: "Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku,  padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa  pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat  demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t."
Anjing itu  akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak  mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua."
Pendeta  Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya  sambil berkata: "Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!"
Imam  Ali menjelaskan: "Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah  Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!"
Ali bin Abi  Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh  pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan  buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba  waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang  sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua  kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah s.w.t.  memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada  masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat  untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu  memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan  sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam  supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu  ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya  tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu  melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan  berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu  yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia  melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur  berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam  orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia  berkata: "Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan  hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri  mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka  segera datang ke mari!"
Setelah tukang-tukang batu itu tiba,  mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish  (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para  pengikutnya: "Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau  benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan  mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu."
Dalam  guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah  masa yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi  nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka  merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang  berkata kepada yang lainnya: "Malam tadi kami lupa beribadah kepada  Allah, mari kita pergi ke mata air!"
Setelah mereka berada di  luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali  dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t.  membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: "Siapakah di  antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang  untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti  supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak  dengan lemak-babi."
Tamlikha kemudian berkata: "Hai  saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan.  Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku  ini!"
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat  menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama  sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah  diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau  berkibar di angkasa bertuliskan: "Tiada Tuhan selain Allah dan Isa  adalah Roh Allah."
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera  itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: "Kusangka aku  ini masih tidur!" Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati  bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang  sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum  pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang  penjaja roti: "Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?"
"Aphesus,"  sahut penjual roti itu.
"Siapakah nama raja kalian?" tanya  Tamlikha lagi. "Abdurrahman," jawab penjual roti.
"Kalau yang  kau katakan itu benar," kata Tamlikha, "urusanku ini sungguh aneh  sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!"
Melihat  uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa  Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih  berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi,  lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, kalau benar-benar  engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu  dibanding dengan uang baru!"
Imam Ali menerangkan: "Kekasihku  Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang  dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama  sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!"
Imam Ali  kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada  Tamlikha: "Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru  menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak,  engkau akan ku hadapkan kepada raja!"
"Aku tidak menemukan harta  karun," sangkal Tamlikha. "Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari  hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian  meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!"
Penjual  roti itu marah. Lalu berkata: "Apakah setelah engkau menemukan harta  karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi  pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri  sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang  silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?"
Tamlikha  lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru  ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada  orang-orang yang membawa Tamlikha: "Bagaimana cerita tentang orang ini?" 
"Dia menemukan harta karun," jawab orang-orang yang membawanya. 
Kepada Tamlikha, raja berkata: "Engkau tak perlu takut! Nabi  Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari  harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan  selanjutnya engkau akan selamat."
Tamlikha menjawab: "Baginda,  aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota  ini!"
Raja bertanya sambil keheran-heranan: "Engkau penduduk  kota ini?"
"Ya. Benar," sahut Tamlikha.
"Adakah orang  yang kau kenal?" tanya raja lagi.
"Ya, ada," jawab Tamlikha.
"Coba  sebutkan siapa namanya," perintah raja.
Tamlikha menyebut  nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang  dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka  berkata: "Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita  sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?"
"Ya,  tuanku," jawab Tamlikha. "Utuslah seorang menyertai aku!"
Raja  kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh  Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota  itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang  mengantarkan: "Inilah rumahku!"
Pintu rumah itu lalu diketuk.  Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di  bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi  mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya  kepada orang-orang yang datang: "Kalian ada perlu apa?"
Utusan  raja yang menyertai Tamlikha menyahut: "Orang muda ini mengaku rumah ini  adalah rumahnya!"
Orang tua itu marah, memandang kepada  Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: "Siapa namamu?"
"Aku  Tamlikha anak Filistin!"
Orang tua itu lalu berkata: "Coba  ulangi lagi!"
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang  tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: "Ini  adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang  melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka." Kemudian diteruskannya  dengan suara haru: "Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa,  Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah  memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu  akan hidup kembali!"
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua  itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja  segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah  orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda.  Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak  beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya:  "Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?"
Kepada mereka  Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
"Pada  masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang  beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang  bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha  menuju ke gua," demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.
Teman-teman  Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua,  Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka:  "Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda,  atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan  mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini.  Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!"
Semua  berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat  Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha  dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: "Puji dan syukur  bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!"
Tamlikha  menukas: "Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa  lamakah kalian tinggal di sini?"
"Kami tinggal sehari atau  beberapa hari saja," jawab mereka.
"Tidak!" sangkal Tamlikha.  "Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama  meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan  penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka  sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!"
Teman-teman  Tamlikha menyahut: "Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami  ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?"
"Lantas apa  yang kalian inginkan?" Tamlikha balik bertanya.
"Angkatlah  tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga," jawab  mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas,  kemudian berdoa: "Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan  kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini,  cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!"
Allah  s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut  mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu  gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju  mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari  pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan  masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi  menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang  bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni  gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan  yang beragama Islam lalu berkata: "Mereka mati dalam keadaan memeluk  agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu."
Sedang  bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: "Mereka mati dalam  keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu." 
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui  pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh  bangsawan yang beragama Islam.
Sampai di situ Imam Ali bin Abi  Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata  kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: "Itulah, hai Yahudi,  apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku  hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai  dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?"
Pendeta Yahudi  itu menjawab: "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak  mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku  sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain  Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun  bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat  ini!"
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul  Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab  Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al  Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan  yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.

