The Charm of Darkage, Kamboja (3)

Minggu



The Charm of Darkage, Kamboja (3)

Perjalanan menuju Desa Choeung Ek menjadi 30 menit terlama dalam hidup saya. Melewati pinggiran kota yang berdebu di bawah terik matahari, terbayang derita para korban yang nyawanya tinggal menunggu hitungan jam ketika mereka menempuh rute yang sama 30-an tahun silam.



Berjarak 15 kilometer dari Phnom Penh, Killing Fields yang kini dikelola sebuah perusahaan Jepang (hingga mengundang amarah warga) telah menjelma menjadi taman yang ditumbuhi pepohonan rindang. Bila tak membaca papan berisi informasi kejahatan para penjagal, siapa pun akan betah bersantai-santai di bawah pohon seraya menikmati semilir embusan angin.

Bangunan paling menonjol di sini adalah stupa penghormatan bagi para korban. Dari balik kaca teronggok 8.995 tengkorak yang ditemukan dari penggalian di 1980. Tengkorak-tengkorak telah dibersihkan dan disusun berdasarkan umur dan jenis kela-min, hingga membentuk 17 tingkat yang menjulang bagai stupa. Sebagian besar batok terlihat cacat akibat pukulan benda tumpul. Di muka stupa, pengunjung bisa memberikan uang untuk ditukar dengan setangkai bunga aster dan hio, untuk selanjutnya dibakar di hadapan tumpukan tengkorak.


Seperti di Penjara Tuol Sleng, pada jam-jam tertentu tempat ini juga memutar film dokumenter yang menampilkan proses penggalian kerangka para korban. Di ruangan lainnya yang berfungsi sebagai museum mungil, saya melihat sisa baju korban dan seragam algojo. Kebanyakan orang malas singgah di museum ini, mungkin karena sudah jengah dengan kekejaman. Biasanya mereka hanya menumpang beristirahat di bangku-bangku yang berjejer di bagian depan bangunan.
Semua bukti kebejatan yang saya saksikan sulit dilupakan untuk waktu yang lama. Guna mengalihkan perhatian, saya pun pergi mencicipi kehidupan malam kota. Nightlife scene di Phnom Penh ternyata ketinggalan 20 tahun dibandingkan Jakarta. Yang ada hanya diskotek atau pub yang dipenuhi pekerja seks komersial. Bahkan di buku panduan yang merinci daftar bar pun selalu terpajang foto-foto seronok wanita penghibur. Saya sempat berniat masuk ke Heart of the Darkness, salah satu bar paling terkenal yang tampilannya mengingatkan saya pada Diskotek Tanamur di Tanah Abang, Jakarta, di zaman dulu. Agak lama saya berhenti di muka bangunan bergaya Angkor ini, namun akhirnya kehilangan gairah.





Sebagai gantinya, saya pergi ke Sisowath Quay yang terletak di tepi Sungai Tonle Sap. Di area ini berbaris aneka kafe dan restoran yang sebagian menawarkan meja-meja yang digelar di trotoar. Sangat Parisian! Saya memilih Foreign Correspondents’ Club (FCC), bekas wadah berkumpulnya para jurnalis di masa perang yang kini menjadi salah satu landmark penting di Phnom Penh. Turis, ekspat, dan eksekutif muda memadati tempat ini guna menikmati happy hour yang berlangsung dari pukul 17:00 hingga 19:00. Dari lantai dua, saya bisa menyaksikan peman-dangan kawasan tepi sungai yang temaram.


Di sekitar Sisowath Quay juga terdapat Royal Palace yang berarsitektur cantik dan National Museum yang menyimpan warisan kebudayaan Khmer. Pengunjung juga bisa duduk-duduk santai di pinggir sungai yang dihiasi bendera negara-negara asing. Sangat disarankan Anda tidak lengah saat berjalan, sebab copet yang kebanyakan mengendarai sepeda motor bisa muncul tiba-tiba. Sasaran paling empuk tentu wanita yang berjalan sendirian.
Sumber : http://www.jalanjalan.co.id/

Artikel Lainnya