The Charm of Darkage, Kamboja (2)

Minggu



The Charm of Darkage, Kamboja (2)

Saya menjangkau Phnom Penh menggunakan bus dari Siem Reap. Sepanjang enam jam perjalanan menuju kota yang dibelah Sungai Tonle Sap ini, dilema terus berkecamuk di batin. Padahal, sebelum berangkat ke Kamboja, saya sudah memupuk nyali dengan menonton film “The Killing Fields” serta membaca buku-buku seputar rezim Pol Pot, seperti “Voices from S-21” dan “First They Killed My Father”. Namun Penjara Tuol Sleng dan Killing Fields bukanlah fiksi. Kesadisan yang pernah terjadi di kedua tempat ini nyata adanya. Buku dan film tak cukup mewakili kengerian yang tersaji.


Pagi harinya, sebelum memulai tur, saya sempat berbin-cang-bincang dengan resepsionis hotel. Iseng-iseng saya tanyakan apakah dia pernah menginjakkan kaki di Penjara Tuol Sleng. “Saya cuma pernah melewatinya saja, saya tidak akan mau masuk ke sana,” katanya. ”Terlalu menyakitkan!” Walau anggota keluarganya tak ada yang menjadi korban karena sempat mengungsi ke Vietnam, namun masa kelabu itu rupanya telah menjadi luka batin kolektif bagi seluruh warga.

Sejumlah tuk-tuk, angkutan kota khas Kamboja, mangkal di luar hotel guna menawarkan jasa kepada setiap turis yang lewat. Mereka akan langsung menawarkan tur menuju Penjara Tuol Sleng dan Killing Fields, berhubung keduanya merupakan atraksi wisata nomor satu di Phnom Penh. Tapi jika sang turis menolak, barulah sopir tuk-tuk menawarkan alternatif lain, seperti Royal Palace, National Museum, dan Central Market.

Tarif pembuka untuk perjalanan ke Penjara Tuol Sleng dan Killing Fields adalah $17. Namun, setelah ditawar, biasanya mereka mau menerima $12. Seperti di Siem Reap, dolar Amerika diterima sebagai alat pembayaran resmi, sehingga saya tak perlu repot menukarkan uang ke riel.

Saya memulai tur di Penjara Tuol Sleng yang kini berubah status menjadi Museum Genosida. Terletak di kawasan perumahan yang padat, sebagai penikmat film horor, saya pun membayangkan warga sekitar pasti pernah mendengar suara-suara dari alam lain. Sekilas pandang, bangunan bertingkat tiga bekas sekolah ini terlihat normal. Namun begitu memasuki satu per satu bekas ruangan kelas, barulah bulu kuduk saya berdiri.Tengkorak-tengkorak dibersihkan dan disusun berdasarkan umur, hingga membentuk 17 tingkat yang menjulang bagai stupa.

Stupa di Killing Fields yang berisi tumpukan 8.995 tengkorak.


Pemandu mudah ditemukan di loket tiket. Mereka bercerita panjang lebar tentang barang-barang yang terpajang di museum. Namun tak semua orang betah mendengarnya. Di area yang memajang alat-alat tumpul yang pernah digunakan untuk menyiksa tahanan, seorang turis Amerika memotong omongan si pemandu, lalu segera keluar dari ruangan. “Saya tak sanggup mendengarnya lagi,” ujarnya sembari menyeka keringat yang bercucuran deras di dahi.

Bagi yang ingin mengetahui lebih lengkap sejarah genosida, Tuol Sleng memutar film dokumenter setiap hari pada pukul 10:00 dan 15:00 gratis bagi pengunjung. Jika Anda lebih suka membaca, di halaman depan museum dijual berbagai buku seputar Year Zero. “Tempat yang menyedihkan bukan?” tanya seorang sopir tuk-tuk saat mendapati saya keluar dari museum dengan tatapan kosong.

Sebelum melanjutkan perjalanan ke Killing Fields di Choeung Ek, saya mampir di sebuah restoran yang dinaungi pepohonan tepat di seberang museum. Nama restoran ini sesejuk penampilannya: Boddhi Tree Umma. Mi kuah berisi irisan daging sapi yang tersaji di meja tampak menggiurkan, tapi saya tak juga menyentuhnya. Agaknya imaji darah kering yang bercampur karat besi tua di sel-sel sempit penjara masih terngiang di kepala. Restoran ini juga menawarkan penginapan berdesain Khmer kontemporer yang eksotis. Tapi, setelah dipikir-pikir, siapa yang mau tinggal di dekat ladang pembantaian?

Artikel Lainnya