Budapest
Selasa
Budapest
Beberapa pekan lalu, Walikota Budapest Gábor Demszky bertandang ke Jakarta dalam rangka mempererat hubungan kedua kota sebagai sister city. Demszky tak sendiri tentu, ia membawa sang istri yang penyanyi opera dan pemain biola Anikó Németh. Disamping mempertunjukkan kehandalan pemain biola Hungaria, termasuk Németh, pemerintah kota Budapest juga menyiapkan pameran tentang Budapest yang adalah kota warisan dunia.
Dalam pameran yang bertajuk “Cermin Sejarah Kami: Budapest”, pemerintah kota praja Budapest menampilkan berbagai peninggalan di, kota itu, yang masih terpelihara dari masa Romawi hingga modern sekarang ini. Semua peninggalan itu jadi bagian dari sejarah ribuan tahun kota itu.
Budapest mengapit Sungai Danube, di sisi kanan sungai adalah Buda dan Óbuda dan di sisi kiri sungai adalah kawasan Pest. Mereka menyatukan diri menjadi Budapest pada 17 November 1873. Tapi sejarah itu masih bisa diurut jauh ke belakang, ke zaman Romawi.
Dalam papan pameran terpampang peninggalan arkeologis pertama yang bertahan –terbuat dari batu– berasal dari zaman saat Kekaisaran Romawi menaklukkan bagian Barat Hungaria. Kota Romawi Aquincum di sisi kanan Sungai Danube ada sejak abad ke-2. Hasil penggalian menemukan reruntuhan ampiteater –bangunan tanpa atap berbentuk melingkar dengan tempat duduk bertingkat.
Di abad pertengahan millennium pertama, “Kami tidak punya peninggalan arsitektur hanya bukti arkeologis,” jelas ahli penasehat dan konsep dari Departeman Perlindungan Nilai Kota, Dr Katalin Kiss, kepada Warta Kota beberapa waktu lalu. Warisan dari zaman ini bisa dilihat di Benteng Buda, di Istana Raja, di Gereja Santo Matthias yang diperbaiki sesuai dengan pola zaman abad pertengahan, lanjutnya.
Budapest tak luput dari pendudukan Kekaisaran Ottoman di abad 16 dan 17. Peninggalan dari abad ini adalah pemandian umum yang hingga kini jadi bagian dari kebudayaan spa Budapest.
Kemudian masuklah zaman tiga kota, Buda, Óbuda, dan Pest yaitu zaman ketika penjajah Turki hengkang. Di seputar abad 18 istana aristokrat dan bangunan gereja mulai berdiri dan hingga kini arsitektur Barok itu masih berdiri tegak. Sebut saja Gereja Santa Anna, gedung pabrik sutera lama, balai kota.
Kondisi cuaca
Giliran selanjutnya adalah masa di mana gedung berskala besar pertama, yaitu gedung kebudayaan, struktur jalan utama kota, dan Jembatan Lánc yang menghubungkan dua tepian Sungai Danube dibangun pada pertengahan abad 19. Zaman ini juga mewariskan antara lain Museum Nasional, kasino, dan sekolah, pemandian Lukács.
Di masa itu pula Budapest resmi bergabung menjadi sebuah kota yang dibelah Sungai Danube. Perubahan gaya arsitektur terjadi di akhir abad 19 yaitu arsitektur versi Hungaria yang adalah gabungan antara Barat dan Timur, tutur Kiss.
Warisan yang hingga kini memenuhi kota itu –karakter khas yang terbentuk selama berabad-abad– menghasilkan panorama yang membuat Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menetapkan Budapest sebagai kota warisan dunia.
Kiss, menyatakan, “Tidak mudah, memang, mempertahankan bangunan atau peninggalan apapun dari zaman sekian abad bahkan millennium lalu. Kami terus berupaya menjaga kelestarian itu, tidak berarti kami tak punya masalah. Tapi memang perlu kerja keras dan kemauan besar dari pemerintah,” katanya.
Ia mengakui, kesulitan Jakarta pasti adalah masalah kondisi cuaca, kelembapan yang tinggi, dan lingkungan sehingga bangunan di kawasan kota bersejarah Jakarta akan menemukan masalah yang sama, air yang merambati tembok. “Dalam kondisi udara yang lembap, semua mudah rusak, jadi memang lebih sulit melestarikan warisan budaya di negara Asia Tenggara, termasuk Jakarta,” begitu arsitek ini menjelaskan.
Sumber: Kompas.com
Dalam papan pameran terpampang peninggalan arkeologis pertama yang bertahan –terbuat dari batu– berasal dari zaman saat Kekaisaran Romawi menaklukkan bagian Barat Hungaria. Kota Romawi Aquincum di sisi kanan Sungai Danube ada sejak abad ke-2. Hasil penggalian menemukan reruntuhan ampiteater –bangunan tanpa atap berbentuk melingkar dengan tempat duduk bertingkat.
Di abad pertengahan millennium pertama, “Kami tidak punya peninggalan arsitektur hanya bukti arkeologis,” jelas ahli penasehat dan konsep dari Departeman Perlindungan Nilai Kota, Dr Katalin Kiss, kepada Warta Kota beberapa waktu lalu. Warisan dari zaman ini bisa dilihat di Benteng Buda, di Istana Raja, di Gereja Santo Matthias yang diperbaiki sesuai dengan pola zaman abad pertengahan, lanjutnya.
Budapest tak luput dari pendudukan Kekaisaran Ottoman di abad 16 dan 17. Peninggalan dari abad ini adalah pemandian umum yang hingga kini jadi bagian dari kebudayaan spa Budapest.
Kemudian masuklah zaman tiga kota, Buda, Óbuda, dan Pest yaitu zaman ketika penjajah Turki hengkang. Di seputar abad 18 istana aristokrat dan bangunan gereja mulai berdiri dan hingga kini arsitektur Barok itu masih berdiri tegak. Sebut saja Gereja Santa Anna, gedung pabrik sutera lama, balai kota.
Kondisi cuaca
Giliran selanjutnya adalah masa di mana gedung berskala besar pertama, yaitu gedung kebudayaan, struktur jalan utama kota, dan Jembatan Lánc yang menghubungkan dua tepian Sungai Danube dibangun pada pertengahan abad 19. Zaman ini juga mewariskan antara lain Museum Nasional, kasino, dan sekolah, pemandian Lukács.
Di masa itu pula Budapest resmi bergabung menjadi sebuah kota yang dibelah Sungai Danube. Perubahan gaya arsitektur terjadi di akhir abad 19 yaitu arsitektur versi Hungaria yang adalah gabungan antara Barat dan Timur, tutur Kiss.
Warisan yang hingga kini memenuhi kota itu –karakter khas yang terbentuk selama berabad-abad– menghasilkan panorama yang membuat Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menetapkan Budapest sebagai kota warisan dunia.
Kiss, menyatakan, “Tidak mudah, memang, mempertahankan bangunan atau peninggalan apapun dari zaman sekian abad bahkan millennium lalu. Kami terus berupaya menjaga kelestarian itu, tidak berarti kami tak punya masalah. Tapi memang perlu kerja keras dan kemauan besar dari pemerintah,” katanya.
Ia mengakui, kesulitan Jakarta pasti adalah masalah kondisi cuaca, kelembapan yang tinggi, dan lingkungan sehingga bangunan di kawasan kota bersejarah Jakarta akan menemukan masalah yang sama, air yang merambati tembok. “Dalam kondisi udara yang lembap, semua mudah rusak, jadi memang lebih sulit melestarikan warisan budaya di negara Asia Tenggara, termasuk Jakarta,” begitu arsitek ini menjelaskan.
Sumber: Kompas.com