Tanimbar, Maluku
Senin
Tanimbar, Maluku
Dikarenakan musim kering yang lebih panjang, kawasan hutan di daerah ini tidak begitu subur dibandingkan yang ada di bagian utara kepulauan Maluku sehingga menyebabkan aktivitas yang sangat intensif pada sistem pengolahan tanah mereka yang ditanami padi, singkong, dan tanaman pangan lain, terutama di daerah pedalaman. Selain bertani beberapa orang Tanimbar juga menyambung hidup dengan cara menangkap ikan di laut atau berburu babi hutan.
Tidak seperti Weyewa, Toraja, atau Dayak, suku Tanimbar tidak mempermasahkan pertentangan antara kebudayaan asli mereka dengan kebudayaan Kristen yang dikenal secara resmi. Dengan adanya ekspedisi militer Belanda pada tahun 1912, misionaris Katolik dan Protestan mengkonversi penduduk di kepulauan ini pada tahun 20-an. Tetapi, tradisi Tanimbar tetap dipelihara melalui hubungan dan persekutuan antar desa dan perkawinan. Pada umumnya suku Tanimbar berorientasi secara sosial kepada warga desa dan anggota keluarga.
Persatuan desa dilambangkan dalam sebuah batu yang berbentuk kapal. Di acara resmi, misalnya pesta tarian tradisional, kedudukan dan status seseorang dilihat dari posisi penempatan tempat duduk terhadap kapal simbolik ini. Persaingan antar keluarga atau antar desa, tidak lagi diungkapkan dengan cara perburuan kepala manusia atau perang saudara, tetapi direpresentasikan melalui tradisi yang kompleks dan melibatkan ritual pertukaran barang-barang berharga, persekutuan perkawinan, dan persaingan antara gereja Katolik dan Protestan (satu dari mereka menganggap seorang Tanimbar anggota dari masing-masing gereja).
Suku Tanimbar berafiliasi dalam bentuk rahan (rumah) yaitu suatu unit kerjasama utama , yang bertanggung jawab untuk membuat persembahan kepada nenek moyang, biasanya menurut tradisi tengkorak mereka disimpan di dalam rumah. Rahan juga bertanggung jawab atas pemeliharaan dan distribusi pusaka / barang warisan leluhur yang terdiri atas barang-barang berharga dan tanah. Suku Tanimbar yang menganut sistem keturunan patrineal mempunyai tradisi, jika seorang anak dilahirkan, mereka akan bertanya " Orang asing atau Tuan Rumah ?". Artinya bayi laki-laki disebut sebagai seorang "Tuan Rumah" karena laki-laki diwajibkan "menetap" atau "tinggal" di rumah ayahnya. Selanjutnya pertanyaan tentang kemana seorang anak perempuan harus pergi , kewajiban dan hak-hak apa saja yang mereka dapatkan, adalah salah satu pertanyaan yang menarik dari masyarakat Tanimbar. Ada „aturan" perkawinan di mana seorang pemudi dari keluarga tertentu diharapkan untuk mengikuti aturan yang sudah menjadi tradisi tersebut, khususnya yang melibatkan hubungan antar klan yang sudah bertahan lebih dari tiga generasi.
Jika barang-barang berharga tertentu telah diterima oleh pihak keluarga sang perempuan, maka seorang perempuan sepenuhnya menjadi anggota keluarga suaminya. Kalau tidak, anaknya dianggap sebagai garis keturunan saudara laki-laki perempuan tersebut.
Secara tradisional suku Tanimbar sudah mempunyai hubungan dagang dan pertukaran barang secara lokal maupun nasional, di mana selama berabad-abad mereka terlibat dalam sistem perdagangan di Indonesia dengan cara bertukar kopra, trepang, kura-kura darat, kerang, dan sirip ikan hiu untuk ditukar dengan emas, gading gajah, bahan tekstil, dan barang-barang berharga lain. Tetapi pada abad kedua puluh, suku Tanimbar mulai menukarkan produk lokal mereka untuk barang-barang sederhana seperti tembakau, kopi, gula, periuk masakan logam, jarum, pakaian, dan barang kebutuhan sehari-hari yang lain. Di tahun 70-an dan 80-an, saudagar Cina mendominasi perdagangan di daerah ini dan karenanya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pasar ekonomi lokal.
0 komentar to “Tanimbar, Maluku”
=