Mengalah Untuk Menang
Selasa
Mengalah Untuk Menang
Seorang ibu mengeluh tentang  kekurangcocokan antara kesukaan dirinya dan kesukaan suaminya. "Sejak  kecil saya suka bergaul. Karena bagi saya, arti teman sangat penting.  Sebaliknya, suami saya tidak suka bergaul. Dia lebih suka bermain dengan  komputer, membaca di kamar, atau menonton video," ujarnya. Pada  mulanya, perbedaan kesenangan itu memang tidak menimbulkan masalah.  Namun lambat laun, seiring dengan kian lamanya perjalanan hidup bersama,  pasangan suami-istri itu mulai terganggu. Ketika sang istri bersukacita  menyambut kedatangan sahabat karibnya sejak masa sekolah, sang suami  justru murung karena memikirkan betapa privasinya akan terganggu oleh  kedatangan sahabat istrinya. Apalagi sahabat karib itu bersama  keluarganya akan menginap di rumah mereka. 
Yang jelas, perbedaan kesukaan  itu semakin merisaukan pasangan suami istri tersebut. Sang istri cemas,  karena merasa sulit mengembangkan kebersamaan dengan suaminya. Dia suka  makan beramai-ramai di restoran bersama keluarga para sahabatnya,  seminggu atau dua minggu sekali. Namun setiap kali mau mewujud nyatakan  kesukaannya itu, dia mengkhawatirkan perasaan sang suami. Ia pikir,  dalam acara seperti itu, suami mesti ikut, sebab teman-temannya juga  bersama suami masing-masing. Namun dia tidak yakin sang suami bisa  menikmati acara seperti itu. Bahkan mungkin acara seperti itu sangat  menyiksa suami. 
Sebenarnya, apa yang dipikirkan  sang istri tidak banyak berbeda dengan kenyataannya. Di hadapan  konselor, sang suami mengaku dirinya memang tidak menyukai acara makan  bersama, apalagi kalau itu dilaksanakan cukup sering. Dia merasa amat  tersiksa. Namun dia juga khawatir, bila kerap menolak ajakan makan  bersama, istrinya tentu akan sangat kecewa. Kalau hal itu berlangsung  terus, relasi dirinya dan istri pasti akan semakin renggang. 
Menurut analisa konselor,  sesungguhnya pasangan suami-istri itu benar-benar sama keras. Buktinya,  mereka seringkali bertengkar tentang perbedaan-perbedaan di antara  mereka berdua. Dalam perdebatan seperti itu, tidak jarang sang istri  menyalah-nyalahkan suami. Bahkan dengan kata-kata keras serta tajam  memaksa suami berubah. Pada suatu kali sang istri berkata, "Sifat suka  menyendiri itu pertanda kelainan jiwa. Normalnya, orang mesti suka  berteman. Kalau kamu selalu menyendiri, kamu mesti diperiksa dokter  spesialis jiwa untuk disembuhkan. Kecuali kalau kamu bisa berubah  sendiri!". 
Mendengar pernyataan itu, sang  suami menanggapi tidak kalah keras. "Setiap orang punya sifat  sendiri-sendiri. Tidak ada orang lain yang bisa memaksakan perubahan  pada diri saya. Kamu memang orang yang suka memaksa. Kamu tidak sadar  akan posisimu sebagai istri. Yang normal, istri melayani suami. Mana ada  istri memaksa suami?!" 
Memang,  perbedaan itu tidak akan terjembatani hanya dengan  perdebatan-perdebatan, apalagi diwarnai saling menyalahkan dan pemaksaan  kehendak. Sikap saling menyalahkan dan pemaksaan kehendak hanya akan  mengakibatkan sakit hati pada kedua belah pihak, yang pada akhirnya  merenggangkan relasi suami-istri. Maka seyogianya dicari jalan keluar  yang rasional dan manusiawi. 
Jalan keluar yang rasional dan  manusiawi justru berintikan pengejawantahan sikap "mengalah dalam  pengertian yang benar". Artinya, tidak memaksakan kehendak atau kesukaan  diri sendiri, tetapi membiarkan diri mengikuti kehendak orang lain,  demi terjadinya perubahan-perubahan rasional dan manusiawi  (perbaikan-perbaikan) dalam diri sendiri maupun diri orang lain. 
Langkah ini memungkinkan  terjembataninya perbedaan-perbedaan di antara mereka. "Mengalah" adalah  kata kunci untuk kasus suami-istri itu, karena mengalah adalah lawan  dari sikap keras yang ditampilkan kedua belah pihak. Sikap keras justru  kian menjauhkan mereka. Sesungguhnya, sang suami sangat mendambakan  istri bisa atau mampu mengejawantahkan sikap mengalah dan menipiskan  sikap kerasnya. Begitu pula, sang istri mendambakan suami bisa atau  mampu mewujudnyatakan sikap mengalah serta menipiskan sikap kerasnya. 
Setiap perbedaan pasti akan  terjembatani oleh sikap mengalah dari kedua belah pihak. Dalam kasus di  atas, kedua belah pihak tidak sudi berprakarsa mengejawantahkan sikap  mengalah lebih dulu. Seolah masing-masing saling menunggu. Di tengah  kondisi demikian, relasi di antara mereka makin memburuk. Padahal  sesungguhnya mengalah sama sekali tidak berarti kalah. Justru sikap  mengalah menyebabkan kemenangan, dan orang yang mengalah sedang merintis  kemenangan. 
Mengapa demikian? Karena, pada  dasarnya setiap manusia tidak akan bisa mengejawantahkan suatu sikap  atau tindakan tertentu, jika sebelumnya tak pernah menghayati sikap atau  tindakan serupa yang dilakukan orang lain kepadanya. Orang hanya bisa  diharapkan mengalah dengan tulus jika pernah menghayati sikap atau  tindakan mengalah yang dilakukan orang lain terhadap dirinya. 
Manusia tidak bisa diharapkan  mampu mewujudkan kasih sayang secara tulus, jika dia tidak pernah  mendapatkan kasih sayang dari orang lain. Begitu pula, manusia tidak  bisa diharapkan mewujudkan kejujuran secara asali, jika orang-orang lain  selalu bersikap dan bertindak tidak jujur terhadapnya. Hal ini bisa  dianggap sebagai salah satu prinsip dalam relasi antarinsan. 
Jika seseorang menginginkan  perubahan terjadi pada mitra relasinya, dia perlu mempertimbangkan untuk  mewujudnyatakan perubahan di dalam dirinya sendiri lebih dulu, sebelum  mengharapkan terjadinya perubahan dalam diri mitra relasinya. 
Pada kasus tersebut di atas,  suami perlu mengalah dan istri pun perlu mengalah. Ketika suami  mengalah, istri mendapatkan pengalaman perubahan dalam diri suaminya.  Dengan demikian sang istri mengalami apa yang disebut sikap dan tindakan  mengalah, karena suaminya sendiri mengejawantahkan sikap dan tindakan  tesebut buat dirinya. Semua pengalaman ini akan merupakan pelajaran riil  yang mendorong istri mewujudnyatakan perubahan dan sikap mengalah yang  tulus. Sebaliknya, ketika istri mengalah, sang suami mendapatkan  pengalaman perubahan dan sikap mengalah yang diwujudnyatakan oleh  istrinya. Semua pengalaman tersebut akan menjadi pelajaran riil yang  mendorong sang suami mengejawantahkan perubahan dan sikap mengalah yang  tulus pula. 
Dengan demikian, suami dan istri  itu bersama-sama menjembatani perbedaan-perbedaan di antara mereka. Dan  mereka pun kian harmonis dalam berelasi, makin mampu menjaga  kebersamaan yang memang seyogianya selalu dirawat dalam relasi  suami-istri, bahkan pula dalam relasi kemanusiaan antar insan pada  umumnya.


0 komentar to “Mengalah Untuk Menang”