Mengenal Begu Ganjang Dan Genderuwo
Begu Ganjang.
Belakangan ini berkembang isu begu ganjang di Sumatera Utara, dan orang yang disangka memiliki begu ganjang diusir dari desa, malahan ada yang sampai dibunuh dan rumahnya dibakar. Fenomena tersebut membuat orang bertanya apakah begu ganjang, darimanakah asal-usul dan makna kata tersebut. Selain itu gejala ini menjadi tantangan serius bagi kehadiran kekristenan dalam karya pastoralnya di tengah-tengah jemaat.
Paparan ini bukan bermaksud menjawab segala persoalan yang muncul sehubungan dengan begu ganjang, tapi hanya sebatas memberikan sedikit pemahaman terminologis dan sikap pastoral apa yang bisa dilakukan berhadapan dengan isu begu ganjang.
Secara sederhana dan harafiah begu sebetulnya berarti roh, sedangkan ganjang artinya panjang. Untuk memahaminya, begu ganjang mesti dilihat dalam konteks yang lebih luas dari ‘teologi’ dan ‘agama’ tradisional suku Batak Toba sendiri, secara khusus paham ‘pneumatologi’ Batak Toba (pneuma = roh, spirit). Dari sudut pandang ilmu agama-agama dapat dikatakan bahwa dalam diri orang Batak Toba kuno telah terdapat konsep tentang keagamaan, yang walaupun orang Batak Toba kuno sendiri belum menyadarinya sebagai manifestasi keagamaan.
Masyarakat Batak Toba kuno telah berhasil mengembangkan suatu bentuk keagamaan primitif dengan menampilkan tokoh keallahan, diantaranya Mulajadi Nabolon sebagai Allah yang menciptakan segala sesuatu termasuk manusia, Debata Natolu yang terdiri dari Bataraguru, Soripada, dan Mangalabulan, dan terakhir adalah Debata Asiasi sebagai lambang kesatuan serta totalitas.
Zat kehidupan
Selanjutnya, masyarakat Batak Toba kuno percaya, disamping para Debata masih ada kekuatan lain yang erat hubungannya dengan kehidupan manusia. Malah baik buruknya hidup manusia tergantung pada respon yang diberikan pada kekuatan dan tenaga ini. Mereka itulah yang disebut dengan tondi dan begu.
Tondi (roh, nyawa) berada dalam tubuh manusia dan merupakan satu kesatuan. Manusia menjadi makhluk yang hidup karena memiliki tondi. Tondi memiliki zat kehidupan yang berlangsung selama-lamanya dan tidak dapat dirusak oleh apapun. Orang Batak Toba kuno mengenal dua jenis tondi, yaitu: tondi yang terdapat dalam tubuh manusia dan berhubungan dengannya pada masa kehidupan manusia saja. Kedua, tondi yang merupakan bayangan yang melanjutkan aktivitas manusia. Artinya, manusia secara biologis mungkin telah mati, tapi aktivitasnya masih dilanjutkan oleh tondi-nya.
Kehadiran tondi dalam tubuh manusia merupakan faktor penentu bagi kesehatan manusia. Timbulnya sesuatu penyakit, kegelisahan, atau kemalangan diyakini sebagai akibat dari lemahnya tondi, atau kepergian tondi dari tubuh manusia. Bila kepergian tondi berlangsung lama dan tidak datang lagi ke dalam tubuh dikhawatirkan bisa menyebabkan kematian bagi manusia. Konon ada empat penyebab tondi meninggalkan tubuh manusia yaitu saat tidur, terkejut, mimpi dan kematian (R. Pasaribu, 1988:130-131).
Rasa takut
Apabila orang meninggal dunia, maka tondi berobah menjadi begu (Ph.L.Tobing, 1956:101). Jadi roh-roh yang menjadi begu inilah yang menimbulkan rasa takut bagi manusia yang masih hidup. Adanya rasa takut menjadi faktor utama aktivitas orang Batak Toba kuno untuk mengkultuskannya. Ini pula menjadi dasar ritus (kebaktian), yaitu upaya menghormati dan memuja begu sesuai keyakinannya (R.Pasaribu, 1988:125).
Pada umumnya begu dibagi dua golongan, yaitu (1) begu dari orang yang sudah meninggal, dan (2) begu lain yang berkeliaran di alam semesta yang secara umum dalam bahasa sehari-hari biasa disebut hantu (Parkin, 1978:148). Menurut sifatnya ada begu yang jahat dan begu yang baik (Marbun-Harahap, 1987:30). Sebenarnya orang Batak Toba kuno tidak menyebut begu kepada arwah orang yang dihormatinya. Arwah orang yang dicintai dan dihormati biasa disebut dengan sumangot (roh yang dipuja) dan sombaon (roh yang disembah).
Sehubungan dengan itulah ada ritus pemujaan nenek moyang berupa penggalian tulang belulang dari kuburan sementara (mangongkal holi) dan pemakaman kembali yang dilakukan bagi leluhur yang dianggap memiliki pengaruh istimewa. Melalui penghormatan, misalnya, dalam upacara adat diharap, bahwa roh nenek moyang akan diangkat menjadi sumangot. Bila dilakukan penghormatan lebih besar lagi bagi sumangot dan keturunannya menjadi kelompok besar, maka sumangot menjadi sombaon. Sombaon dipandang sebagai roh yang berkuasa dan harus dihormati, malah dipercaya dekat dengan para Debata yang menguasai kehidupan manusia.
Ada bermacam ragam sebutan untuk arwah orang mati yang dinamai begu, antara lain adalah begu laos bagi arwah orang yang semasa hidupnya merupakan pengemis, begu gunung untuk arwah orang yang sewaktu hidup bekerja sebagai pandai besi, konon arwahnya ditempatkan oleh Mulajadi Nabolon di puncak gunung. Begu jau adalah arwah orang yang tidak dikenal, begu nurnur bagi arwah orang yang mati tapi tempatnya belum sempat diukur sewaktu dimakamkan, begu siharhar untuk orang yang mati dengan tidak meninggalkan keturunan. Sementara begu antuk (roh pemukul) dan begu ganjang adalah sebutan bagi begu yang dapat memukul orang dengan tiba-tiba hingga menemui ajalnya. Kedua jenis begu ini dianggap banyak menyebarkan penyakit menular seperti kolera, sampar dan sebagainya.
Demikian ulasan singkat mengenai paham orang Batak Toba kuno tentang begu dalam koteks ‘pneumatologi’ Batak Toba tradisional. Sehubungan dengan begu ganjang yang diyakini sebagai personifikasi bagi segala jenis roh-roh yang mampu membuat orang meninggal secara mendadak, segera muncul pertanyaan berikut: Adakah gejala dan isu begu ganjang yang sempat hangat di Sumatera Utara sebetulnya hanya merupakan gejala menularnya berbagai jenis penyakit membahayakan yang tentu saja dapat merenggut nyawa manusia dalam waktu singkat? Kalau memang itu, cara mengatasinya adalah menggalakkan pengobatan secara medis, bukan dengan menuduh dan membinasakan orang yang diduga memiliki dan memelihara begu ganjang.
Pendampingan pastoral?
Oleh karena itu, dalam menghadapi masyarakat atau umat yang menyebarluaskan isu begu ganjang sebetulnya dibutuhkan pendekatan pastoral yang bijaksana.
Terlepas dari persoalan apakah memang begu ganjang ada atau tidak, menarik untuk mengamati mengapa masyarakat menghembuskan isu begu ganjang tersebut. Berbagai faktor, misalnya, kecemburuan sosial, persoalan ekonomi, dan persaingan politis bisa mendasari orang memunculkan isu begu ganjang. Kegersangan dan kehampaan iman kristiani serta kebuntuan dalam menghadapi segala jenis persoalan kehidupan sehari-hari juga dapat merangsang orang untuk cepat melemparkan tanggungjawab dan kesalahan kepada pihak lain. Dengan meminjam terminologi begu ganjang orang merasa lebih gampang menghakimi pihak lawan atau orang lain yang tidak disenangi sebagai pihak yang bersalah, sumber permasalahan, dan penderitaan, maka harus segera dibinasakan.
Berhadapan dengan gejala ini beberapa kebijakan pastoral yang barangkali bisa dilakukan adalah: Pertama, memberikan penjelasan yang benar secara antropologis, historis dan sosiologis kepada jemaat seputar begu ganjang, sehingga orang mengerti latar belakang kemunculan kata begu ganjang pada masyarakat. Kedua, menggalakkan diskusi dan seminar secara teratur mengenai isu yang hangat di masyarakat, sehingga umat merasa terlibat dan turut memikirkan pemecahan atas persoalan yang muncul di antara mereka. Ketiga, mengadakan pendekatan dan pendampingan pastoral kepada kedua belah pihak baik korban atau pihak yang dituduh memelihara begu ganjang, maupun kelompok masyarakat yang yang sudah dan/atau potensial bertindak anarkis.
Genderuwo
Genderuwo adalah salah satu mahluk halus yang cukup terkenal dan hanya ada di Indonesia khususnya di pulau jawa. Hingga saat ini belum ada negara lain yang mengklaim genderuwo adalah khazanah kepunyaan negara selain Indonesia.
Genderuwo adalah sejenis bangsa jin atau makhluk halus yang berwujud manusia mirip kera yang bertubuh besar dan kekar dengan warna kulit hitam kemerahan, tubuhnya ditutupi rambut lebat yang tumbuh di sekujur tubuh. Genderuwo terutama dikenal dalam masyarakat di Pulau Jawa (orang Sunda menyebutnya "gandaruwo" dan orang Jawa menyebutnya "gendruwo").
Habitat hunian kegemarannya adalah batu berair, bangunan tua, pohon besar yang teduh atau sudut-sudut yang lembab sepi dan gelap. Pusat domisili makhluk ini dipercaya berada di Hutan Jati Donoloyo, kecamatan Sloghimo, sekitar 60 km di sebelah timur Wonogiri, dan di wilayah Lemah Putih, Purwosari, Girimulyo, Kulon Progo sekitar 60 km ke barat Yogyakarta.
Legenda Genderuwo
Makhluk halus ini dipercaya dapat berkomunikasi dan melakukan kontak langsung dengan manusia. Berbagai legenda menyebutkan kalau genderuwo dapat mengubah penampakan dirinya mengikuti wujud fisik seseorang untuk menggoda manusia. Genderuwo dipercaya sebagai sosok makhluk yang iseng dan cabul, karena kegemarannya menggoda manusia terutama kaum perempuan dan anak-anak. Genderuwo kadang senang menepuk pantat perempuan, mengelus tubuh perempuan ketika sedang tidur, bahkan sampai memindahkan pakaian dalam perempuan ke orang lain. Kadang genderuwo muncul dalam wujud makhluk kecil berbulu yang bisa tumbuh membesar dalam sekejap, genderuwo juga gemar melempari rumah orang dengan batu kelikir di malam hari.
Salah satu kegemaran genderuwo yang paling utama adalah menggoda istri-istri kesepian yang ditinggal suami atau para janda, bahkan kadang genderuwo bisa sampai melakukan hubungan seksual dengan mereka. Dipercaya bahwa benih daripada genderuwo dapat menyebabkan seorang wanita menjadi hamil dan memiliki keturunan dari genderuwo. Menurut legenda, genderuwo memiliki kemampuan gendam untuk menarik wanita agar mau bersetubuh dengannya. Permainan seks genderuwo juga diyakini amat luar biasa, sehingga wanita-wanita korban pencabulannya seringkali merasakan puas dan nikmat yang luar biasa apabila berhubungan badan dengan genderuwo. Namun biasanya wanita korban yang disetubuhi oleh genderuwo tidak akan sadar sedang bersetubuh dengan genderuwo karena genderuwo akan menyamar sebagai suami atau kekasih korban dalam melakukan pencabulannya. Disebutkan pula kalau genderuwo memiliki libido dan gairah seksual yang besar dan jauh di atas manusia, sehingga ia amat mudah terangsang melihat kemolekan perempuan dan membuatnya menjadi makhluk yang senang menggoda perempuan.
Ada legenda menyatakan genderuwo kadang senang bersemayam di dalam rahim perempuan. Perempuan yang rahimnya disemayami oleh genderuwo akan memiliki gairah seks yang tinggi dan tak mampu menahan gairahnya. Si perempuan akan senang melakukan hubungan intim. Apabila pasangan si perempuan tak mampu mengimbangi gairahnya, maka si perempuan takkan segan mencari pasangan lain. Hal ini terjadi karena gairah si wanita dikendalikan oleh genderuwo, apabila si wanita melakukan hubungan intim, maka si genderuwo yang bersemayam di rahimnya juga akan merasakan nikmat dari hubungan intim yang dilakukan wanita tersebut.
Tidak semua genderuwo bersifat jahat, ada pula genderuwo yang bersifat baik. Genderuwo yang bersifat baik ini dipercaya biasanya menampakkan wujudnya sebagai seorang kakek tua berjubah putih yang kelihatan amat berwibawa. Genderuwo yang baik tidak bersifat cabul seperti saudara sebangsanya yang bersifat jahat, genderuwo yang baik seringkali membantu manusia seperti menjaga tempt gaib atau rumah dari tangan jahil atau perampok. Pernah juga terdengar bahwa genderuwo yang bersifat baik terkadang membantu menyunat anak-anak dari keluarga tidak mampu yang sholeh beribadah.
Asal-Usul Gendruwo
Asal-usul genderuwo dikatakan berasal dari arwah orang yang meninggal secara tidak sempurna, bisa akibat bunuh diri, penguburannya tidak sempurna ataupun kecelakaan. Sehingga ia merasa penasaran dan belum mau naik ke akhirat. Genderuwo tidak dapat dilihat oleh orang biasa tapi pada saat tertentu dia dapat menampakkan dirinya bila merasa terganggu. Pada dasarnya tidak semua genderuwo jahat, ada genderuwo yang jahat ada pula yang baik. Semuanya tergantung bagaimana kita bersikap, mau berteman atau bermusuhan padanya.
Banyak kalangan mempercayai salah satu cara memanggil genderuwo adalah dengan membakar sate gagak. Diyakini, burung gagak adalah makanan kesukaan sekaligus binatang peliharaan genderuwo. Seperti halnya bangsa manusia yang memelihara ayam. Untuk melakukan ritual ini, subyek yang ingin bertemu dengan makhluk gaib ini tidak boleh asal atau sembarangan ketika mulai membakar sate burung gagak.
Ada cara khusus untuk membuatnya. Caranya adalah sebagai berikut: setelah berhasil menangkap burung gagak, sembelihlah gagak tersebut dengan pisau yang sangat tajam. Alasannya, ketajaman mata pisau akan mempengaruhi lancar tidaknya darah yang mengalir keluar dari bekas luka yang ditimbulkan. Berikutnya adalah mencabuti bulu-bulu hitam yang kasar itu hingga benar-benar bersih. Selanjutnya, daging yang sudah bersih itu ditelikung seperti halnya kalau membuat ingkung ayam. Baru kemudian, bisa dibakar di atas perapian. Hal terpenting dari ritual itu adalah mengucapkan rapalan mantra khusus agar si makhluk gaib itu mendengar selain mencium bau makanannya.
Mantra pemanggil genderuwo hanya dimiliki segelintir orang saja dan tidak sembarang diberitahukan. Tempat yang dianggap paling tepat untuk melakukan ritual ini adalah tempat yang terbuka. agar bau burung gagak yang dibakar bisa menyebar ke mana-mana dibawa oleh angin. Sehingga semerbak daging terbakar api itu bisa mengundang genderuwo mendatangi tempat tersebut. Belakangan, ritual mengundang genderuwo lengkap dengan segala sejajinya makin banyak dilakukan orang. Hal ini berkaitan erat dengan maraknya perjudian togel yang dulu amat dikenal dengan nomor buntut. Mereka meyakini, dengan mengundang genderuwo, keinginan untuk mendapat nomor jitu bisa terpenuhi. Dengan berbekal sedikit keberanian, keuntungan besar bakal gampang diperoleh.
Ada yang unik dari proses mendatangkan genderuwo hingga permintaan untuk menyebutkan nomor jitu yang bakal keluar. Yaitu dilakukan tawar menawar seperti layaknya jual beli pedagang di pasar. Setelah genderuwo keluar dari sarang mendengar rapalan mantra berikut bau daging gosong gagak terpanggang, secepat kilat harus segera meminta apa yang kita inginkan. Jangan sampai ia mencuri atau memakan umpan sate burung gagak sebelum mengucapkan permintaan. Sebab, jika ia sudah kekenyangan ia akan segera melenggang pergi tanpa mau menjawab yang diingini si pemanggilnya.
clubbing.kapanlagi.com
Belakangan ini berkembang isu begu ganjang di Sumatera Utara, dan orang yang disangka memiliki begu ganjang diusir dari desa, malahan ada yang sampai dibunuh dan rumahnya dibakar. Fenomena tersebut membuat orang bertanya apakah begu ganjang, darimanakah asal-usul dan makna kata tersebut. Selain itu gejala ini menjadi tantangan serius bagi kehadiran kekristenan dalam karya pastoralnya di tengah-tengah jemaat.
Paparan ini bukan bermaksud menjawab segala persoalan yang muncul sehubungan dengan begu ganjang, tapi hanya sebatas memberikan sedikit pemahaman terminologis dan sikap pastoral apa yang bisa dilakukan berhadapan dengan isu begu ganjang.
Secara sederhana dan harafiah begu sebetulnya berarti roh, sedangkan ganjang artinya panjang. Untuk memahaminya, begu ganjang mesti dilihat dalam konteks yang lebih luas dari ‘teologi’ dan ‘agama’ tradisional suku Batak Toba sendiri, secara khusus paham ‘pneumatologi’ Batak Toba (pneuma = roh, spirit). Dari sudut pandang ilmu agama-agama dapat dikatakan bahwa dalam diri orang Batak Toba kuno telah terdapat konsep tentang keagamaan, yang walaupun orang Batak Toba kuno sendiri belum menyadarinya sebagai manifestasi keagamaan.
Masyarakat Batak Toba kuno telah berhasil mengembangkan suatu bentuk keagamaan primitif dengan menampilkan tokoh keallahan, diantaranya Mulajadi Nabolon sebagai Allah yang menciptakan segala sesuatu termasuk manusia, Debata Natolu yang terdiri dari Bataraguru, Soripada, dan Mangalabulan, dan terakhir adalah Debata Asiasi sebagai lambang kesatuan serta totalitas.
Zat kehidupan
Selanjutnya, masyarakat Batak Toba kuno percaya, disamping para Debata masih ada kekuatan lain yang erat hubungannya dengan kehidupan manusia. Malah baik buruknya hidup manusia tergantung pada respon yang diberikan pada kekuatan dan tenaga ini. Mereka itulah yang disebut dengan tondi dan begu.
Tondi (roh, nyawa) berada dalam tubuh manusia dan merupakan satu kesatuan. Manusia menjadi makhluk yang hidup karena memiliki tondi. Tondi memiliki zat kehidupan yang berlangsung selama-lamanya dan tidak dapat dirusak oleh apapun. Orang Batak Toba kuno mengenal dua jenis tondi, yaitu: tondi yang terdapat dalam tubuh manusia dan berhubungan dengannya pada masa kehidupan manusia saja. Kedua, tondi yang merupakan bayangan yang melanjutkan aktivitas manusia. Artinya, manusia secara biologis mungkin telah mati, tapi aktivitasnya masih dilanjutkan oleh tondi-nya.
Kehadiran tondi dalam tubuh manusia merupakan faktor penentu bagi kesehatan manusia. Timbulnya sesuatu penyakit, kegelisahan, atau kemalangan diyakini sebagai akibat dari lemahnya tondi, atau kepergian tondi dari tubuh manusia. Bila kepergian tondi berlangsung lama dan tidak datang lagi ke dalam tubuh dikhawatirkan bisa menyebabkan kematian bagi manusia. Konon ada empat penyebab tondi meninggalkan tubuh manusia yaitu saat tidur, terkejut, mimpi dan kematian (R. Pasaribu, 1988:130-131).
Rasa takut
Apabila orang meninggal dunia, maka tondi berobah menjadi begu (Ph.L.Tobing, 1956:101). Jadi roh-roh yang menjadi begu inilah yang menimbulkan rasa takut bagi manusia yang masih hidup. Adanya rasa takut menjadi faktor utama aktivitas orang Batak Toba kuno untuk mengkultuskannya. Ini pula menjadi dasar ritus (kebaktian), yaitu upaya menghormati dan memuja begu sesuai keyakinannya (R.Pasaribu, 1988:125).
Pada umumnya begu dibagi dua golongan, yaitu (1) begu dari orang yang sudah meninggal, dan (2) begu lain yang berkeliaran di alam semesta yang secara umum dalam bahasa sehari-hari biasa disebut hantu (Parkin, 1978:148). Menurut sifatnya ada begu yang jahat dan begu yang baik (Marbun-Harahap, 1987:30). Sebenarnya orang Batak Toba kuno tidak menyebut begu kepada arwah orang yang dihormatinya. Arwah orang yang dicintai dan dihormati biasa disebut dengan sumangot (roh yang dipuja) dan sombaon (roh yang disembah).
Sehubungan dengan itulah ada ritus pemujaan nenek moyang berupa penggalian tulang belulang dari kuburan sementara (mangongkal holi) dan pemakaman kembali yang dilakukan bagi leluhur yang dianggap memiliki pengaruh istimewa. Melalui penghormatan, misalnya, dalam upacara adat diharap, bahwa roh nenek moyang akan diangkat menjadi sumangot. Bila dilakukan penghormatan lebih besar lagi bagi sumangot dan keturunannya menjadi kelompok besar, maka sumangot menjadi sombaon. Sombaon dipandang sebagai roh yang berkuasa dan harus dihormati, malah dipercaya dekat dengan para Debata yang menguasai kehidupan manusia.
Ada bermacam ragam sebutan untuk arwah orang mati yang dinamai begu, antara lain adalah begu laos bagi arwah orang yang semasa hidupnya merupakan pengemis, begu gunung untuk arwah orang yang sewaktu hidup bekerja sebagai pandai besi, konon arwahnya ditempatkan oleh Mulajadi Nabolon di puncak gunung. Begu jau adalah arwah orang yang tidak dikenal, begu nurnur bagi arwah orang yang mati tapi tempatnya belum sempat diukur sewaktu dimakamkan, begu siharhar untuk orang yang mati dengan tidak meninggalkan keturunan. Sementara begu antuk (roh pemukul) dan begu ganjang adalah sebutan bagi begu yang dapat memukul orang dengan tiba-tiba hingga menemui ajalnya. Kedua jenis begu ini dianggap banyak menyebarkan penyakit menular seperti kolera, sampar dan sebagainya.
Demikian ulasan singkat mengenai paham orang Batak Toba kuno tentang begu dalam koteks ‘pneumatologi’ Batak Toba tradisional. Sehubungan dengan begu ganjang yang diyakini sebagai personifikasi bagi segala jenis roh-roh yang mampu membuat orang meninggal secara mendadak, segera muncul pertanyaan berikut: Adakah gejala dan isu begu ganjang yang sempat hangat di Sumatera Utara sebetulnya hanya merupakan gejala menularnya berbagai jenis penyakit membahayakan yang tentu saja dapat merenggut nyawa manusia dalam waktu singkat? Kalau memang itu, cara mengatasinya adalah menggalakkan pengobatan secara medis, bukan dengan menuduh dan membinasakan orang yang diduga memiliki dan memelihara begu ganjang.
Pendampingan pastoral?
Oleh karena itu, dalam menghadapi masyarakat atau umat yang menyebarluaskan isu begu ganjang sebetulnya dibutuhkan pendekatan pastoral yang bijaksana.
Terlepas dari persoalan apakah memang begu ganjang ada atau tidak, menarik untuk mengamati mengapa masyarakat menghembuskan isu begu ganjang tersebut. Berbagai faktor, misalnya, kecemburuan sosial, persoalan ekonomi, dan persaingan politis bisa mendasari orang memunculkan isu begu ganjang. Kegersangan dan kehampaan iman kristiani serta kebuntuan dalam menghadapi segala jenis persoalan kehidupan sehari-hari juga dapat merangsang orang untuk cepat melemparkan tanggungjawab dan kesalahan kepada pihak lain. Dengan meminjam terminologi begu ganjang orang merasa lebih gampang menghakimi pihak lawan atau orang lain yang tidak disenangi sebagai pihak yang bersalah, sumber permasalahan, dan penderitaan, maka harus segera dibinasakan.
Berhadapan dengan gejala ini beberapa kebijakan pastoral yang barangkali bisa dilakukan adalah: Pertama, memberikan penjelasan yang benar secara antropologis, historis dan sosiologis kepada jemaat seputar begu ganjang, sehingga orang mengerti latar belakang kemunculan kata begu ganjang pada masyarakat. Kedua, menggalakkan diskusi dan seminar secara teratur mengenai isu yang hangat di masyarakat, sehingga umat merasa terlibat dan turut memikirkan pemecahan atas persoalan yang muncul di antara mereka. Ketiga, mengadakan pendekatan dan pendampingan pastoral kepada kedua belah pihak baik korban atau pihak yang dituduh memelihara begu ganjang, maupun kelompok masyarakat yang yang sudah dan/atau potensial bertindak anarkis.
Genderuwo
Genderuwo adalah salah satu mahluk halus yang cukup terkenal dan hanya ada di Indonesia khususnya di pulau jawa. Hingga saat ini belum ada negara lain yang mengklaim genderuwo adalah khazanah kepunyaan negara selain Indonesia.
Genderuwo adalah sejenis bangsa jin atau makhluk halus yang berwujud manusia mirip kera yang bertubuh besar dan kekar dengan warna kulit hitam kemerahan, tubuhnya ditutupi rambut lebat yang tumbuh di sekujur tubuh. Genderuwo terutama dikenal dalam masyarakat di Pulau Jawa (orang Sunda menyebutnya "gandaruwo" dan orang Jawa menyebutnya "gendruwo").
Habitat hunian kegemarannya adalah batu berair, bangunan tua, pohon besar yang teduh atau sudut-sudut yang lembab sepi dan gelap. Pusat domisili makhluk ini dipercaya berada di Hutan Jati Donoloyo, kecamatan Sloghimo, sekitar 60 km di sebelah timur Wonogiri, dan di wilayah Lemah Putih, Purwosari, Girimulyo, Kulon Progo sekitar 60 km ke barat Yogyakarta.
Legenda Genderuwo
Makhluk halus ini dipercaya dapat berkomunikasi dan melakukan kontak langsung dengan manusia. Berbagai legenda menyebutkan kalau genderuwo dapat mengubah penampakan dirinya mengikuti wujud fisik seseorang untuk menggoda manusia. Genderuwo dipercaya sebagai sosok makhluk yang iseng dan cabul, karena kegemarannya menggoda manusia terutama kaum perempuan dan anak-anak. Genderuwo kadang senang menepuk pantat perempuan, mengelus tubuh perempuan ketika sedang tidur, bahkan sampai memindahkan pakaian dalam perempuan ke orang lain. Kadang genderuwo muncul dalam wujud makhluk kecil berbulu yang bisa tumbuh membesar dalam sekejap, genderuwo juga gemar melempari rumah orang dengan batu kelikir di malam hari.
Salah satu kegemaran genderuwo yang paling utama adalah menggoda istri-istri kesepian yang ditinggal suami atau para janda, bahkan kadang genderuwo bisa sampai melakukan hubungan seksual dengan mereka. Dipercaya bahwa benih daripada genderuwo dapat menyebabkan seorang wanita menjadi hamil dan memiliki keturunan dari genderuwo. Menurut legenda, genderuwo memiliki kemampuan gendam untuk menarik wanita agar mau bersetubuh dengannya. Permainan seks genderuwo juga diyakini amat luar biasa, sehingga wanita-wanita korban pencabulannya seringkali merasakan puas dan nikmat yang luar biasa apabila berhubungan badan dengan genderuwo. Namun biasanya wanita korban yang disetubuhi oleh genderuwo tidak akan sadar sedang bersetubuh dengan genderuwo karena genderuwo akan menyamar sebagai suami atau kekasih korban dalam melakukan pencabulannya. Disebutkan pula kalau genderuwo memiliki libido dan gairah seksual yang besar dan jauh di atas manusia, sehingga ia amat mudah terangsang melihat kemolekan perempuan dan membuatnya menjadi makhluk yang senang menggoda perempuan.
Ada legenda menyatakan genderuwo kadang senang bersemayam di dalam rahim perempuan. Perempuan yang rahimnya disemayami oleh genderuwo akan memiliki gairah seks yang tinggi dan tak mampu menahan gairahnya. Si perempuan akan senang melakukan hubungan intim. Apabila pasangan si perempuan tak mampu mengimbangi gairahnya, maka si perempuan takkan segan mencari pasangan lain. Hal ini terjadi karena gairah si wanita dikendalikan oleh genderuwo, apabila si wanita melakukan hubungan intim, maka si genderuwo yang bersemayam di rahimnya juga akan merasakan nikmat dari hubungan intim yang dilakukan wanita tersebut.
Tidak semua genderuwo bersifat jahat, ada pula genderuwo yang bersifat baik. Genderuwo yang bersifat baik ini dipercaya biasanya menampakkan wujudnya sebagai seorang kakek tua berjubah putih yang kelihatan amat berwibawa. Genderuwo yang baik tidak bersifat cabul seperti saudara sebangsanya yang bersifat jahat, genderuwo yang baik seringkali membantu manusia seperti menjaga tempt gaib atau rumah dari tangan jahil atau perampok. Pernah juga terdengar bahwa genderuwo yang bersifat baik terkadang membantu menyunat anak-anak dari keluarga tidak mampu yang sholeh beribadah.
Asal-Usul Gendruwo
Asal-usul genderuwo dikatakan berasal dari arwah orang yang meninggal secara tidak sempurna, bisa akibat bunuh diri, penguburannya tidak sempurna ataupun kecelakaan. Sehingga ia merasa penasaran dan belum mau naik ke akhirat. Genderuwo tidak dapat dilihat oleh orang biasa tapi pada saat tertentu dia dapat menampakkan dirinya bila merasa terganggu. Pada dasarnya tidak semua genderuwo jahat, ada genderuwo yang jahat ada pula yang baik. Semuanya tergantung bagaimana kita bersikap, mau berteman atau bermusuhan padanya.
Banyak kalangan mempercayai salah satu cara memanggil genderuwo adalah dengan membakar sate gagak. Diyakini, burung gagak adalah makanan kesukaan sekaligus binatang peliharaan genderuwo. Seperti halnya bangsa manusia yang memelihara ayam. Untuk melakukan ritual ini, subyek yang ingin bertemu dengan makhluk gaib ini tidak boleh asal atau sembarangan ketika mulai membakar sate burung gagak.
Ada cara khusus untuk membuatnya. Caranya adalah sebagai berikut: setelah berhasil menangkap burung gagak, sembelihlah gagak tersebut dengan pisau yang sangat tajam. Alasannya, ketajaman mata pisau akan mempengaruhi lancar tidaknya darah yang mengalir keluar dari bekas luka yang ditimbulkan. Berikutnya adalah mencabuti bulu-bulu hitam yang kasar itu hingga benar-benar bersih. Selanjutnya, daging yang sudah bersih itu ditelikung seperti halnya kalau membuat ingkung ayam. Baru kemudian, bisa dibakar di atas perapian. Hal terpenting dari ritual itu adalah mengucapkan rapalan mantra khusus agar si makhluk gaib itu mendengar selain mencium bau makanannya.
Mantra pemanggil genderuwo hanya dimiliki segelintir orang saja dan tidak sembarang diberitahukan. Tempat yang dianggap paling tepat untuk melakukan ritual ini adalah tempat yang terbuka. agar bau burung gagak yang dibakar bisa menyebar ke mana-mana dibawa oleh angin. Sehingga semerbak daging terbakar api itu bisa mengundang genderuwo mendatangi tempat tersebut. Belakangan, ritual mengundang genderuwo lengkap dengan segala sejajinya makin banyak dilakukan orang. Hal ini berkaitan erat dengan maraknya perjudian togel yang dulu amat dikenal dengan nomor buntut. Mereka meyakini, dengan mengundang genderuwo, keinginan untuk mendapat nomor jitu bisa terpenuhi. Dengan berbekal sedikit keberanian, keuntungan besar bakal gampang diperoleh.
Ada yang unik dari proses mendatangkan genderuwo hingga permintaan untuk menyebutkan nomor jitu yang bakal keluar. Yaitu dilakukan tawar menawar seperti layaknya jual beli pedagang di pasar. Setelah genderuwo keluar dari sarang mendengar rapalan mantra berikut bau daging gosong gagak terpanggang, secepat kilat harus segera meminta apa yang kita inginkan. Jangan sampai ia mencuri atau memakan umpan sate burung gagak sebelum mengucapkan permintaan. Sebab, jika ia sudah kekenyangan ia akan segera melenggang pergi tanpa mau menjawab yang diingini si pemanggilnya.
clubbing.kapanlagi.com
3 komentar to “Mengenal Begu Ganjang Dan Genderuwo”
Unknown
3/02/2015Saya haturkan banyak terima kasih, karnah KI COKENG membantu memberikan solusi,,,kini saya udah lepas dari kendala yg saya alami kemaren, dan angka yg aki berikan sangat tepat, hanya sekali ini saya main togel...Buat kamu yg pengen menang togel....bisa hub: Ki Cokeng di: +6285394330318. terima kasih.
BELAJAR BAHASA
10/13/2016Begu Gajang berbeda dari Genderuwo karena Begu Gajang sangat besar dan mematikan
Unknown
11/03/2017Ayo buruan daftar kan diri anda sekarang juga menjadi jutawan di sanadomino..info lebih lanjut hubungi kami di bbm : D86E8C7A 24 Jam Online
judi poker
=