Gagak Bisa Hidup Bahagia Di Australia

Selasa



Gagak Bisa Hidup Bahagia Di Australia

Sebelum menulis, senantiasa terpikir padang rumput di Australia, baik itu hamparan rumput di sisi jalan tol, maupun di kedua sisi jalan perkotaan, semuanya terasa segar dan melapangkan hati. Rerumputan tebal bagaikan kulit alam semesta, sinar mentari menerangi sela rerumputan hijau, bagaikan madu merembes ke dalam tubuh kita diiringi dengan kelembaban dan aroma manis. Pada saat itu, beberapa ekor gagak dengan santainya berkelebat di depan jendela, kaokan khas mereka memutus lamunan saya.

(INTERNET)

Gagak Australia tersohor di dunia, badan mereka bongsor, berbulu hitam kelam bersinar, ritme ocehan mereka agak sendu: “Aaa, aaaak…”, menurun pada intonasi akhir, agak menyeret, sedikit tragis, juga agak menggelikan. Terkadang mirip dengan tangisan bayi, atau nyanyian burung kepodang yang bersandar manja pada sang kekasih. Ada juga yang berkaok terasa menusuk hati, barangkali suara itu milik gagak yang sudah menguasai bahasa kedua, karena gagak China selalu mengeluarkan suara ritme tunggal seperti ini, terdengar agak serak dan pilu.

Gagak Australia tidak membentuk kelompok besar (atau barangkali saya tidak melihatnya), melainkan berkelompok 4-6 ekor, mencari makanan di tanah, terbang sambil berkaok-kaok. Mengapa menggunakan jumlah genap 4-6? Karena saya tak tega memisahkan pasangan gagak yang menunjukkan kasih tulus dan kesetiaan terhadap partner hidupnya meski memiliki bulu serba hitam. Golongan gagak dengan ketat mentaati sistem monogami seumur hidup mereka dan tak pernah berpisah. Mereka makhluk gaib kehidupan dan panutan dari alam.

Di Dongdan, Beijing, saya pernah melihat formasi gagak yang spektakuler tapi agak menakutkan. Ketika saya baru keluar dari kolam renang, langit mulai gelap dan nyala lampu jalan serta billboard bermunculan.

Penunggu bus umum di halte cukup banyak, tetapi suasana sekitar terasa agak ganjil, semua orang diam membisu, seperti sedang menghindari sesuatu. Atmosfer seolah membeku, bahkan deru kendaraan di jalan raya juga seolah mendadak senyap.

Plok plok, dua cairan kental berwarna putih terjatuh di dekat kaki saya. Otomatis saya mendongak sejenak. Wah! Di atas kabel listrik yang membentang di antara 2 jalan itu ternyata dipenuhi kumpulan gagak, tubuhnya hitam pekat membentuk siluet disinari lampu jalan. Bola mata hitam kelam, memandang lurus gedung tinggi di depannya, kendaraan lalu lalang tiada henti dan langkah tergesa para pejalan kaki, pelototannya itu membuat bulu kuduk saya agak merinding. Seolah mereka sekelompok hakim yang mengenakan jubah hitam, dengan dingin meneropong masyarakat dan dunia, tinggal menanti saat membacakan tuntutan lantas menjatuhkan vonis.

Di sampingnya ada sebatang pohon tua tinggi besar, angin musim gugur meniup rontok daunnya, pada saat itu malah dipenuhi dengan “bunga” hitam yang dingin. Ratusan ekor Gagak seluruhnya dengan tenang bertengger di atas ranting, terkadang ada sedikit gangguan, tapi dengan cepat kembali tenang. Oh, ternyata di masyarakat kita yang pongah ini dengan warna-warni materi dan segala hiruk pikuknya, justru di atas kepala kita, terdapat sebuah dunia dari spesies lain.

Gagak China menyandang seabrek nama buruk, meski mereka dengan burung Murai (Pica pica) termasuk satu famili Corvidae, tapi beda nasib. Yang satu dianggap sebagai “burung pewarta sukacita”, dan satunya lagi dianggap sebagai “burung jahat” yang perlu dihindari. Istilah seperti “mulut gagak”, juga tentang cerita gagak pemakan daging yang bodoh dan apriori, bahkan penyair yang dekat dengan alam pun menyamakan suasana derita “rotan kerontang” dan “pohon tua” dengan “gagak bengong”.

Sesungguhnya, kalau diurut sesuai dengan kecerdasan hewan, mestinya gagak bisa menyandang mahkota juara. Penelitian ahli biologi ditemukan, gagak bisa mencipta peralatan untuk mengais makanan, ini tidak bisa dibandingkan dengan binatang lain, termasuk simpanse yang dianggap hewan primata terpandai. Mereka bahkan bisa saling bergurau dan menyatakan isi hatinya kepada sang kekasih.

Gagak malah disebut sebagai “burung berbakti”. Di dalam kitab medis dan penelitian China kuno yang terbit pada 1578, Ben Cao Wang Mu, tercatat

“Sesudah burung ini dilahirkan, sang induk melolohnya 60 hari, setelah dewasa ia gantian meloloh ibunya selama 60 hari, boleh dibilang burung yang berbelas kasih dan berbakti kepada orang tua.”

Di balik tampang gagak yang tak sedap, ternyata hatinya penuh kebajikan dan mulia, kepintarannya memang berasal dari nuraninya, akan tetapi dalam masyarakat riil ini mengidap penyakit keterikatan dengan tampilan serba indah. Gagak Australia memang beruntung, orang Australia menganggap burung sebagai makhluk sesama, tidak lantaran tampang Gagak yang hitam jelek lantas dicampakkan. Di Provinsi New South Wales tenggara, Australia, terdapat sebuah kota kecil bernama Wagga Wagga. Dinamakan demikian karena sesuai dengan nama Gagak. Kata Wagga Wagga berasal dari bahasa suku asli terbesar yang tinggal di wilayah Lifeileina.

Wagga bermakna Gagak, Wagga Wagga berarti lokasi berkumpulnya para Gagak. Bahkan ada merek busana terkenal Australia dengan logo seekor Gagak kecil yang lucu. Entah di China apakah tempat ‘diskriminasi’ bagi Gagak tersebut penjualannya bisa laku atau tidak.

Di rumput sekitar perumahan, selalu bisa menemukan potongan roti yang sengaja ditebar para penduduk. Tak heran Gagak yang hidup serba berkecukupan itu, tumbuh dengan perut dan dada yang montok. Tatkala terbang di atas kepala, Anda bisa melihat bagian perutnya yang bulat penuh dan terdengar pula suara gerakan sayap yang kuat saat mulai terbang. Sewaktu bersantai mereka bertengger bermalas-malasan di atas dahan dan menyanyikan lagu yang mereka anggap merdu.

Di Australia meski tidak terdapat “Hari Cinta Burung” seperti di China, namun justru merupakan surga bagi para burung dan segenap fauna. Di hamparan rumput asri, Gagak, Merpati dan burung-burung kecil lainnya dengan santai berlompatan mencari makan. Burung Betet yang dianggap langka di bonbin Beijing, bertebaran di tepi balkon dan atap rumah penduduk Australia. Burung-burung di Australia tidak takut dengan manusia, mereka bahkan mengais makanan dengan tenangnya di sela kaki para pejalan kaki, membuat hidup dan kontras lingkungan tanaman hijau, sama sekali tidak mengkhawatirkan akan ancaman manusia.

Seringkali tatkala melalui pepohonan lebat, muka bisa terasa gatal, itu adalah hasil karya kerajinan laba-laba, hal seperti ini niscaya selamanya tak akan ditemui di metropolis seperti Beijing dan jalanan yang penuh sesak dengan manusia atau di pepohonan yang dirawat dengan pestisida.

Saya coba mencermati, ternyata serat laba-laba yang indah itu memancarkan sinar keperakan. Sarang laba-laba yang terajut rapi menyedot perhatian para serangga, sekaligus menjadi perangkap mematikan bagi mereka. Sarang lembut nan halus tersebut telah menjala anugerah dari jagad raya, telah menjala sinar mentari yang melimpah di Australia, telah menjala surga dunia yang ditinggali manusia. Saya menggunakan tangan menyingkirkan serat halus itu, di dalam hati toh timbul perasaan menyesal, maaf telah mengusik mimpi musim gugur Anda, laba-laba.


Artikel Lainnya



0 komentar to “Gagak Bisa Hidup Bahagia Di Australia”

Bebas Berkomentar..