Cinta Yang Sesungguhnya

Rabu



Cinta Yang Sesungguhnya

Semula aku tidak pernah percaya cinta. Setelah pernikahanku berakhir dengan perceraian, aku mulai berpaling dari cinta. Aku menjalani kesendirianku dengan penuh penderitaan, apalagi aku harus jauh dari dua buah hatiku yang ikut dengan ibunya. Kesepian itu semakin menyiksaku. Bukan karena ketiadaan pendamping, tapi aku kehilangan celoteh riang dua balitaku.

Empat tahun sendiri membuatku kehilangan arah, hingga aku bertemu Buana. Teman lama yang seperti hantu, tiba-tiba muncul di hadapanku. Pertemuan yang tak disengaja itu berujung pada komunikasi yang intens. Jujur, jauh sebelum aku bercerai, aku sempat mengagumi wanita ini. Ia tegar menghadapi semua masalahnya sendirian. Saat itu memang ia masih sendiri dan ketika kami bertemu sebulan lalu, ia juga masih sendiri.

Darinya aku banyak tahu kenapa ia masih ’betah’ sendiri. “Aku mau menikah dengan orang yang bisa memahami duniaku dan tidak membuatku jadi orang lain.“ Itu salah satu alasannya. Tentunya masih banyak alasan-alasan yang lain. “Kalau aku yang mengajakmu menikah, bagaimana?“ selorohku.

Buana hanya menatapku sejenak dan meluncurlah pertanyaan yang membuatku terbahak, “Kenapa istrimu? Sudah bosan kamu padanya?“ Dari sini aku mulai bercerita soal perjalanan hidupku termasuk kegagalan pernikahanku. Buana bengong dan menggeleng, “Sepuluh tahun kalian menikah dan berakhir begitu saja?“

Sejak itu hubungan kami kian erat dan aku tetap mengajukan pertanyaan yang sama, mengajaknya menikah. Aku tidak pernah bosan mengatakannya, karena makin hari aku makin menyukai Buana. Hingga suatu hari aku merasa bahwa aku tidak akan bisa hidup tanpanya. Entah mengapa rasa cinta itu tiba-tiba hadir dan aku merasa nyaman bila berada di dekatnya.

Untuk kesekian kalinya aku menyatakan keinginanku menikah dengannya, namun dengan suasana yang berbeda. Bila sebelumnya aku mengatakan hanya sambil lalu, kali ini aku mengajaknya ke sebuah coffee shop. Panjang lebar aku utarakan maksudku serta sederet plus minus jika kami nanti menikah.

Sementara Buana hanya duduk diam sembari menyimak ulasanku. Setelah selesai, sambil tersenyum ia berkata, ”Kamu bikin aku seperti orang bodoh. Untuk hal ini kamu harus mengulang ajakan menikah itu hampir lima puluh kali selama empat bulan pertemuan kita. Apakah kamu tidak menangkap sinyal dariku?“ Gantian aku yang bengong sambil menggeleng. Buana menghela nafas, “Aku menerima ajakanmu, tapi dengan syarat...“ Aku sudah tidak mendengar lagi sederet persyaratan Buana saking senangnya mendengar jawaban gadis itu.

Pada akhirnya kami memang menikah dan menurutku kehidupanku jauh lebih membahagiakan ketimbang pernikahan pertamaku. Makin hari aku makin mencintai Buana dan aku sering merasa berdosa saat melihatnya tertidur pulas di sebelahku dengan wajah kelelahan. Ia bekerja terlalu keras, bahkan sering pulang larut. Sebagai suami, mestinya aku yang gigih mencari uang untuk keluarga, nyatanya, Buana yang getol mencari proyek agar bisa menutupi biaya hidup kami.

Aku memang bekerja, sebagai PNS penghasilanku tentu saja pas-pasan dan aku tidak punya ’ruang’ agar bisa mencari sambilan pekerjaan. Sementara Buana punya waktu luas mencari pekerjaan sambilan dan ini sangat menyita waktunya. Aku memang tidak menuntutnya agar bisa menjadi istri yang baik dengan meladeni suami, tapi aku sering kasihan jika melihatnya terlalu lelah.

Suatu malam kuutarakan kecemasanku tersebut. “Jangan terlalu memaksakan diri, aku tidak ingin melihatmu sakit, sayang.“ Buana hanya menatapku dan mencium tanganku, sebutir air matanya jatuh. “Aku ingin agar kita punya tabungan buat anak-anak kita kelak,“ jawabnya lirih. “Iya, tapi kalau kamu terlalu lelah, jangankan tabungan, malah aku gak kebagian waktu untuk bikin anak denganmu,“ candaku.

Sejak itu, Buana mulai mengatur waktunya. Meski gila kerjanya tidak hilang, tapi ia selalu menyediakan waktu khusus untukku. Aku sempat tidak percaya, perempuan tegar satu ini masih memiliki perasaan cinta. Buana memang bukan tipe perempuan manja dan dia juga bukan perempuan yang rajin mengungkapkan perasaannya. Tapi aku tahu, cinta yang dimilikinya lebih besar dari cinta yang kumiliki.

Selanjutnya kami menjalani hidup kami dengan penuh cinta, meski bukan cinta slapstik yang biasa dimiliki para remaja jaman sekarang. Kami tetap memiliki ungkapan cinta yang hanya bisa dimengerti oleh hati kami masing-masing.

Buana adalah perempuan yang sanggup membangkitkan cinta dalam diriku dan ia memperkenalkan sebentuk cinta tanpa pamrih. Meski aku melakukan kesalahan atau hal yang tak disukainya, ia selalu siap memaafkan meski aku tidak memintanya. Buana, betapa beruntungnya aku memilikimu. Aku berjanji akan selalu memelihara cinta ini untuk kita.


Artikel Lainnya



3 komentar to “Cinta Yang Sesungguhnya”




KIKY SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI MOHON MAAF LAHIR BATHIN




O iya Pak. Saya juga minta maaf lahir bathin kalau ada kesalahan. Terima kasih Pak Nasrullah Naim.




WOW.... >>>>>

Bebas Berkomentar..