Perjuangan Imam Husein dalam Tragedi Karbala

Memotret Perjuangan Imam Husein dalam Tragedi Karbala
"Mati  lebih utama dari hidup sengsara, dan hidup sengsara lebih utama dari  masuk neraka, akulah Husain ibnu Ali ....akulah Husain ibnu Ali....."
Ali  Syari'ati, 2001, menggambarkan perjuangan Imam Husain dengan "Syahadah  bukanlah merupakan sarana, tetapi tujuan dari itu sendiri. Ia juga  keaslian, ia adalah kesempurnaan, ia tinggi, syahadah merupakan setengah  jalan menuju puncak tertinggi insani". Sayahadah merupakan undangan  untuk segala usia dan generasi, Imam mengajarkan pada setiap ritmik dan  kosmos yang bergerak, bahwa jihad bukan hanya untuk yang mampu, dan  kemenangan adalah sebuah penaklukan. Dan syahadah bukan sekali-kali  merupakan kerugian, syahadah merupakan sebuah pilihan seorang prajurit  akan keyakinan menuju ambang kemerekaan, dan altar cinta serta  kejayaan".
Imam  Husain, dengan perjalanan syahadahnya adalah puncak pemberian  pengorbanan manusia. Ia mengajarkan kepada kita akan arti, bahwa  "manusia memiliki dunia yang tak terbatas, yang tak terikat pada  lingkungannya, tetapi terbuka pada dunia". Berbeda dengan Abu Sofyan,  Hindun, Muawiyah, Yazid yang sangat terikat pada pandangan dunia yang  sempit dan terbatas, serta terikat oleh lingkungan yang fana, seperti  tahta, kekuasaan, wanita, hawa nafsu dan kebinasaan, yg fenomenologi  tampilannya dan figurnya tak lebih bagaikan hewan, bahkan lebih sesat  dan rendah dari hewan. Jalan hidupnya terobsesi oleh perasaan jalan  duniawi, dan kehidup an fana serta kompromi tuntutan-tuntutan pribadi.  Jauh dibandingkan dengan Imam Husain, sebuah propotype model manusia yg  dadanya penuh dengan saripati pengetahuan dan wawasan, pikirannya sangat  dekat mengenal jalan-jalan ukhrawi dan makna tertingggi di balik dunia  ini, yg bahkan lebih tinggi dari perasaan-perasaan luhur dan rasa  spiritual yg dalam dan halus.
Dimensi Pendidikan Asyura
1.       Apa artinya menjadi Manusia
John  Naisbitt dan Patricia, 1990 dalam Megatrends 2000, seorang futurerolog,  mengemukakan bahwa: "Terobosan paling menggairahkan pada Abad 21 terjadi  bukan karena teknologi, tetapi karena perkembangan konsep mengenai apa  artinya menjadi manusia"
Jauh  sebelum Naisbitt, Imam Husein telah bangkit menolak ajakan untuk duduk  di masjid mengajarkan teologi, filsafat, logika, fiqh, budaya yang  secara bertahun-tahun dilakukan oleh kebanyakan. Oleh Muawiyah, yang  saat itu mungkin dapat disepadankan oleh kebanggaan pada teknologi, dan  kebanggaan terhadap saintis maupun rasionalitas semu, tanpa peduli akan  makna dan hakekat manusia ataupun kemanusiaan itu sendiri, sebaliknya  imam Husain tidak ingin disibukkan oleh sekedar teori, dialektika, dan  wacana absurt tanpa makna, seperti kebanyakan kaum ulama dan kaum  cendekia saat berakrobat intelektual dan mengayunkan ayat dan hadits,  berdebat fiqh pada tataran bid'ah, sunnah, boleh dan tidak boleh,  sementara kedzaliman dan kebusukan serta kediktatoran terjadi dihadapan  mata, diam beribu bahasa. Majelis dzikir marak diadakan dimana-mana  sementara Korupsi, manipulasi dan kepalsuan berlangsung secara  sisematis, dan bahkan merajalela.
Namun  Imam memilih bagaimana arti menjadi manusia, bagaimana cara hidup dan  bahkan bagaimana cara mati. Kebajikan, keikhlasan, kerelaan berkurban,  berkhidmat pada sesama, pengurbanan, keluhuran manusia, taqwa, kesucian,  dan indahnya kenikmatan demi orang lain, dan bahkan mati itu itu, semua  dipersembahkannya Imam. Jalan itu, Ia tempuh dengan cara memilih  "mengikuti sunnah datu (Muhammad SAW) dan ayahnya (Ali ibn Abi Thalib)",  yaitu ajaran Muhammadi,"La Ara fil mauti illassa'adah" (tidak aku  perhatikan kematian kecuali sebuah kebahagiaan), kematian adalah sebuah  realita yang harus dihadapi dan bahkan beliau menjemputnya dengan  kerinduan, dan kecintaan secara bersamaan.
Ebeling,  1982, dalam Dogmatik des Christlichen Glaubens, layak melontarkan  kritiknya: "Hanya manusia dapat menjadi tidak manusiawi. Bahkan manusia  yang tidak manusiawipun mempunyai tuntutan untuk diperlakukan secara  manusiawi". Statemen Ebeling, di atas setidaknya cocok dan pantas untuk  propotype Abu Sofyan, Hindun, Muawiyah, Yazid, dan Bani Umayyah yang  tidak sadar dan tidak akan mungkin sadar akan arti bagaiamana menjadi  manusia. Figur mereka, mencerminkan dimensi kerendahan dan keterpurukan  bahkan kehancuran kemanusiaan, mereka tidak saja melakukan prosesi  segala perilaku jahiliyah pada babakan awal masa Nubuwwah Muhammad, yang  dengan bangga memerangi, memboikot, melukai, lebih dari itupun darah  dan daging serta hati seorang manusia suci Hamzah paman Nabi, ia makan,  ia kunya dan ditelannya, seraya berteriak "mana Muhammad... mana  Muhammad ... perhatikan tubuh dan jantung pamanmu tersayat lumat ?...  Yang kemudian Agama Islam mengabadikan mereka Hindun, Abu Sufyan dan  kroninya dalam al-Qur'an dengan penobatkan serta gelar sebagai "antumul  tulaqaa" gelar yang disandangkan sebagai mereka yang ber-Islam (beragama  Islam) secara terpaksa, dan berinterst duniawi, kepasrahan dan islam  yang terpenjara oleh individualismenya sendiri. "Di antara orang-orang  yang beriman ada kelompok orang yang menepati apa yang telah mereka  janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Di antara mereka  ada yang menunggu. Dan mereka tidak mengubah janjinya sedikit pun  juga." (QS. Al-Ahzab; 23).
Ayat diatas memetakan antara Imam Husain  dan pengikutnya, yang senantiasa komitmen dan setia terhadap janji yang  mereka ikrarkan, sementara Yazid, Muawiyah, Hindun dan Abu Sofyan, serta  pengikutnya adalah mereka yang mengingkari terhadap janjinya.
Apa  yang terjadi pada babakan Jahiliyah kedua, yaitu tokoh diperankan oleh  Muawiyah, pada masa Imam Ali dan Imam Hasan, sipenggemar koleksi para  gundik budak dan selir, perampas dan perampok harta negara, dan yang  piawi dan mahir dalam siasat dan tipu daya, hingga ia kemas Topeng  kesalehan seseorang untuk membunuh Imam Ali, dan merasuk serta membujuk  si Istri untuk meracuni Imam Hasan. Babak berikut adalah New jahiliyah,  dimana dua figur sentral jahiliyah sang datu dan sang ayah menyatu pada  figur Yazid, ia bukan saja gemar menodai wanita, tetapi ibundanyapun  kerap kali ia nodai. Ia, mengulangi kembali pragmentasi figur ibundanya  sipemakan hati paman Nabi, Hamzah ibn Abi Thalib, dengan membantai  seluruh aset dan sisa pengikut setia keluarga Nabi secara biadab, dari  seorang kakek, ayah, wanita hamil, anak kecil hingga sang bayi, mereka  bantai secara bersamaan, dan Imam Husain Sayyidusy Syuhada memberikan  pengorban yang tak ternilai harganya sepanjang peradan manusia, dengan  dipenggal lehernya serta diarak ribuan kilometer. Ada saat-saatnya Umat  sampai pada titik lumpuh pada pemikiran , tergadai oleh oportunitas  kekuasa an, tertanggalnya baju keimanan, kebajikan terasingkan, kaum  muda putus asa, dan menggadai diri, para pionir Islam telah syahid, dan  dibungkam seribu bahasa. Maka, saat-saat sepert penah tak boleh  terpatahkan, lidah tak boleh terpotong, mulut tak boleh tersumbat,  pilar-pilar keadilan, kebenaran dan kejujuran harus ditegakkan. Dan  Husain, sekali llagi mengajarkan bahwa berdiam diri merupakan petaka  akan kelangsungan dan kesucian ajaran Nabi, padahal Imam saat seprti itu  Ia sangat dilematis, karena berdiri diantara dua ketidak mampuan, yaitu  tidak mampu berdiam diri dan tidak mampu melawan. Yang bila dihadapkan  pada kondisional saat kita hidup sekarang ini, berdiri diantara kedua  kemampuan, tetapi tidak dapat berbuat, dan terbelenggu serta terperdaya  pada kedua kemampuan tersebut. Yaitu kemampuan untuk bicara dan  kemampuan untuk melawan, ******* ***** bayangkan kemampuan materi tetapi  tidak dapat membantu orang yang memerlukan, kemampuan berangkat haji  dan umroh untuk beberapa kali, tetapi tidak dapat memberikan subsidi  pendidikan bagi anak-anak berbakat dan terlantar, kermampuan menulis dan  membaca, tetapi pelu dan kaku lidah serta pena menyuarakan keadilan dan  perlawanan terhadap kedzholiman, kemampuan mengajar, dan berdakwah  tetapi sulit diimplementasikan diamalkan, suara-suara kritis disumbat  dengan mematikan kreatifitas dan sarana untuknya.
Menarik  apa yang diungkapkan oleh Yazid kepada Zainab saat menggunakan bahasa  Tuhan untuk mengelaminir bahwa apa yang dilakukannya dengan membunuh  Imam Husein dan seluruh pengikutnya, adalah atas izin Tuhan-Nya, seraya  berkata : "Apa menurut pendapatmu atas perbuatan Tuhan bagi tewasnya  saudaramu Imam Husein" Zainab, dengan penuh keyakinan menjawab: "Tidak  pernah aku mendengar dan memperhatikan perkataan Allah (Firman-Nya)  kecuali yang baik"
Sekali  lagi Ayat Al-Quran itu dikutip Imam Husain, untuk menjelaskan  keberagamaan yang hakiki dan keberagamaan yang palsu. Kita semua sedang  dites oleh Imam Husain dengan sebuah tes yang sederhana tapi berat: Mana  komitmenmu? Mana kesetiaanmu pada janjimu? Mana keteguhan sikapmu untuk  menegakkan Islam? Jika engkau tidak lulus tes ini, kamu masih mukmin,  tetapi mukmin nominal saja, mukmin sebutan saja. Kamu belum mukmin  sejati, jika kamu melingkarkan serbanmu dengan ketat, tetapi  melonggarkan komitmenmu kepada keadilan. Kamu cuma pamer kesalehan, jika  mulutmu menggumam kan asma Allah tidak henti-hentinya, tetapi kamu  menggunakan agama untuk memperkaya dirimu.
Seorang  mukmin ditandai dari komitmennya pada iman. Seorang muslim ditandai  dari komitmennya kepada Islam. Alm. Sayyid Husain Fadhlullah,(Tokoh  Ulama Hizbullah yang amat disegani di Libanon) yang sudah menyerahkan  seluruh hidupnya untuk Islam, berkata: Kita harus bertanya -Adakah  perjanjian antara kita dengan Allah atau tidak? Adakah perjanjian antara  kita dengan Al-Husain sampai kepada Rasulullah saw? Ketika kita  mempelajari pertanyaan ini dengan sifat kita sebagai muslimin, kita akan  menjawab pertanyaan itu dg mudah, bukan dengan sifat kekerabatan,  kedaerahan, kesukuan atau sifat-sifat lainnya yg rendah, karena sifat  Islam itulah yg membatasi sikap kedaerahan dan kesukuan kaum muslimin.  Sesungguhnya kekerabat an, kedaerahan, kebangsaan, kesukuan, adalah  symbol yang boleh jadi bergerak bersama manusia di dunia ini. Tetapi  pada hari kiamat , "Apabila sangkakala ditiup maka tidak ada lagi  pertalian nasab di antara mereka pada hari itu dan tidak pula mereka  saling bertanya" (QS. Al-Mu'minun; 101). Pada hari kiamat orang akan  ditanya dari komitmennya kepada Tuhannya, Rasul-Nya dan kitab-Nya dan  syariat-Nya." (Fi Rihab ahl al-Bayt alayhim al-salam, hal. 314).
Kini  semangat juang Imam Husein dengan tragedi Karbalanya bangkit memberikan  spirit bagi perjuangan babak selanjutnya untuk mengenyahkan Amerika dan  Koalisi dari bumi Irak. Slogan "No Saddam, No Amerika, Down to Israel,  Yes to Islam" Amerika dengan mata menyalak memperhatikan jutaan  komunitas pencinta kesucian dan kebenaran bangkit secara terkordinir dan  solid tumpah ruah saat memperingati 40 hari peristiwa pembantaian  keluarga nabi di Karbala. Sebaliknya selompok laain dari Rakyat Irak,  telah melupakan janjinya, mereka putuskan kesetiaannya, pada pemimpin  mereka yang mereka eluhkan, selama seperempat abad, yaitu Saddam Husein.  Mereka bergabung dengan kezaliman, dan menyambut hangat kedatangan  tentara Amerika, bak pahlawan yang lama mereka nantikan. Mereka putuskan  hubungan dengan orang yang Allah perintahkan untuk menyambungkannya.  Mereka yang memutuskan perjanjian dg Allah sesudah memperkuatnya dan  memutuskan apa yg Allah perintahkan menyambungkan nya dan berbuat  kerusakan di bumi, mereka itulah orang-orang yg merugi (QS. Al-Baqarah  27).
Yang  beruntung adalah para pengikut Imam Husain, mereka menepati janjinya,  mereka tegakkan keadilan walaupun langit harus runtuh. Kakinya tidak  bergeser dari sikap hidup yang dipilihnya. Ada di antara kelompok ini  yang sudah gugur dalam menjalankan missi hidupnya. Ada juga yang masih  menunggu masa dengan tetap bergerak menuju kesyahidan mereka. Satu demi  satu pengikut Imam gugur dengan tidak melepaskan kesetiaanya kepada  pemimpinnya. Ketika kepala-kepala mereka terlepas, bibir-bibirnya masih  menggumamkan baiat kesetiaan: La ilaha illallah.......
1.	Membangun akan arti budaya
Manusia  sering kali disebut sebagai tool-making animal, dimana relasi manusia  dengan lingkungannya atau dunianya menjadi relasi yang diperantarakan  pada saat manusia menciptakan alat-alat untuk menguasai dan  mengendalikan lingkungannya. Salah satu bagian dari alat tersebut adalah  budaya, dan apa yang menarik dari kebudayaan ? menurut P.L. Berger,  1967, bahwa, kebudayaan tidak statis, tetapi lebih merupakan proses  dialektika, terdiri atas tiga momen perkembangan eksternalisasi,  obyektivasi dan internalisasi.
Ekternalisasi,  adalah aktualisasi diri manusia dengan membangun interaksi dengan  dunianya. Imam, mengantarkan pada proses ini dimana interaksi dirinya  pada dunianya. Dengan mengatakan imperium korup dan ganas serta  mengurita saat itu, telah membungkus jubah kesalehan, kumandang ayat,  hadits, kesucian dan tauhid yang palsu. Seperti halnya pemimpin yang  suka menjatuhkan kehormatan orang lain, yang senang menabur dusta dan  fitnah, yang pintar membuat isu, "jika kamu menghalaunya diulurkannya  lidahnya dan jika kamu membiarkannya diulurkannya lidahnya juga"  (Al-A'raf 176), adalah pemimpin yang wajib kita lawan. Mengapa? Karena  ia telah menghalalkan kehormatan Muslim yang jauh lebih mulia dari  kehormatan Ka'bah. Jika menjatuhkan kehormatannya saja sudah menjadi  dosa besar, apatah lagi menghalalkan hartanya dan darahnya.
Tugas  pemimpin adalah melindungi kehormatan, harta, dan darah yang  dipimpinnya. Itulah perjanjian yang mengikat pemimpin dengan  pengikutnya. Itulah kontrak sosial yang pada gilirannya mengikat  pengikut untuk mentaati dan mengikuti perintahnya. Jika kontrak ini  dilanggar, gugurlah kewajiban mentaatinya. Sebagai penggantinya, kita  harus menentangnya, melawannya, dan bahkan memeranginya. Imam Husein  menyebutkan tanda kedua pemimpin yang harus dilawan: memutuskan  janjinya. Menarik bila dicermati,
Saya sangat pesimis terhadap mutu  hasil Pemilu Daerah dimana-mana selain terjadi money politik, bahkan  calon yang terjerat sebagai terdakwa dan di selkan dengan mudahnya dapat  terpilih sebagai pemenang dalam pemilukada. Disampimng terbukti dari  ditemukannya oleh tim Badan Pusat Statistik, dan P4B (Pendataan Pemilih  dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan), dimana masyarakat banyak yang  menolak untuk didaftar sebagai peserta pemilu, karena banyak rakyat yang  dikecewakan oleh komitmen para pemimpin yg mereka pilih. 
Bila  Imam tidak menampilkan aktualisasi diri dengan berinteraksi pada  dunianya, nisacaya jubah kepalsuan, kemunafikan terus bersemayam diatas  bungkus jubah kesalehan, kepatuhan dan religiusitas lainnya. Obyektivasi  adalah hasil yang telah dicapai (baik mental maupun fisik) dari  kegiatan tersebut. Dimensi ini ditampilkan pada saat Imam keluar  menghadap kemah pasukan ‘Umar ibn Sa'adalah, seraya berteriak: " hai,  dengarkanlah ! luangkan sedikit waktu untuk mendengar ucapanku. Puji  atas Allah dan shalawat atas nabi serta keluarnya. Telusurilah garis  keturunanku, lalu renungkanlah siapa diri kalian, lalu renungkan kembali  adakah sedikit alasan untuk mengalirkan darahku dimuka bumi ini ?  ....." keterpaduan dan pencapaian mental dan fisik, bahwa, Imam  melakukan penyadaran atas kelaliman mereka, dengan ultimatum "...kalian  membaca Al-Qur'an, mengaku umat datuku Muhammad, namun kalian sunguh  berani membantai putranya..., sampai pada kepada salah satu ucapan Imama  sbb :
" man  lahu jaddun kajaddi Mushthofa, man lahu abun kaabi haidar, man lahu  ‘ammun ka'ammi hamzah man lahu ummum kaummi faathimah, man lahu akhun  kaakhi mujtaba".{siapa diantara kalian (baca:tentara pasukan Yazid) yang  memiliki datu (kakek) seperti datu-ku Mushtofa Muhammad SAW, siapayang  diantara kalian memiliki seorang ayah seperti ayah-ku Abu Haidar (Imam  Ali ibn Abi Thalib), siapa yang memiliki seorang paman seperti paman-ku  Hamzah, siapa yang memiliki seorang ibu sepertii ibu suci-ku Sayyidah  Fathimah, dan siapapula yang memiliki saudara (kakak) seperti saudara-ku  Imam Hasan}
Internalisasi  adalah penyerapan kembali realitas keyakinan dan kedirian ini oleh  manusia suatu proses transformasi struktur dunia obyektif ke dalam  kesadaran subyektif. Melalui eksternalisasi kebudayaan menjadi produk  manusia, Melalui obyektivasi kebudayaan menjadi realitas sui generic.  Ketika Imam Husein disuruh untuk berbaiat kepada Yazid, ia menegaskan  bahwa Yazid tidak layak menerima kepatuhan rakyat. "Yazid seorang fasik,  peminum khamar, dan penumpah darah yang diharamkan," kata Imam Husein.  Ketika orang-orang menyebut hubungan kekerabatan antara Imam Husein  dengan Yazid -"Anzil ‘ala hukmi ibni ‘ammik- Imam berkata, "Tidak, demi  Allah, aku tidak akan menyerahkan kepada kalian tanganku dengan  kepasrahan seorang yang rendah; aku tidak akan memberikan pengakuan  dengan pengakuan budak." La, wallah, la u'thikum biyadi i'thaa al-dzalil  wa la uqirru iqraral ‘abid. Sebuah deklarasi revolusioner untuk  kebebasan manusia! Anda bisa saja dipaksa untuk melakukan apa pun,  tetapi hati nurani Anda masih punya kebebasan berkehendak. Dalam situasi  apa pun, bahkan di kamp konsentrasi sekali pun, kata Viktor Frankl,  Anda masih memiliki kebebasan memilih. Tubuh Anda boleh jadi sudah  menyerah, tetapi hati Anda masih bebas memilih antara menyerah dan  membangkang . Pembangkangan batin tidak dapat dihilangkan oleh kawat  berduri sekali pun.
Imam  Husein mengajarkan kepada kita bahwa sebelum kita "menuliskan tanda  tangan" kepatuhan pada perjanjian kita dengan pemimpin, kita harus  mengetahui dahulu kualitas pemimpin itu.
Sayyid  Husein Fadhlullah QS menjelaskan kalimat Imam Husein di atas sebagai  berikut: "Kepada siapa Anda berbaiat? Kepada siapa Anda berjanji? Kepada  siapa Anda menjalin kontrak? Sebelum Anda meletakkan Anda pada tangan  siapa saja, pelajarilah kepribadiannya, pelajarilah perjalanan hidupnya,  pelajarilah sikapnya kepadamu, pelajarilah alat-alat penindasan yang  dimilikinya terhadapmu. Setelah itu, berhatilah-hatilah untuk meletakkan  tanganmu di atas tangan seorang manusia yang mempunyai semua alat untuk  menindas karena ikatan perjanjian antaramu dgn dia menjadi sebuah  perjanjian yg memberikan peluang kpada yg kuat untuk menindas yg lemah.
"Jangan  letakkan tanganmu pada tangan seorang manusia yang mengingin kan agar  tangannya berada di atas tanganmu, untuk memaksa kamu mene rima  syarat-syarat yang tidak kamu setujui. Jika kejadiannya seperti itu,  hendaknya kamu segera menarik tanganmu. Persoalannya adalah apakah  kehormatan masih ada padamu atau tidak, apakah kamu dalam keadaan hina  atau tidak.
"Imam Husein mengatakan kalimat di atas karena mereka  berkata kepadanya: Tunduklah kepada hukum putra pamanmu. Tunduklah pada  hukum Yazid, supaya ia menetapkan kamu seperti yang ia kehendaki.  Tunduklah pada hukum Ibnu Ziyad supaya ia menentukan kamu seperti yang  ia kehendaki. Kami berjanji padamu bahwa kamu akan memperoleh perlakuan  yang adil, karena putra pamanmu tidak pernah memperlakukan mu kecuali  dengan kebaikan.
"Pada  saat itulah Imam berkata: Tidak, demi Allah, aku tidak akan menye rahkan  kepada kalian tanganku dengan kepasrahan seorang yang rendah; aku tidak  akan memberikan pengakuan dengan pengakuan budak. Tidak mungkin  tanganku bersalaman denganmu atau berjanji padamu. Tidak mungkin aku  berjalan bersamamu dalam keadaan apa pun selama keadaan itu menunjukkan  penghinaan seorang mukmin atau penghinaan perilaku mukmin. Aku tidak  akan memberikan pengakuan dengan pengakuan budak. "Imam Husein ingin  mengajar semua orang dalam sabdanya seakan-akan ia berkata: Jika kamu  ingin mengakui sesuatu atau menyatakan satu pernyataan hendaklah  pengakuan itu keluar dari kebebasan kehendakmu, dari pusat keyakinanmu.  Engkau hanya mengakui sesuatu yang engkau percayai, karena engkau yakin  bahwa sesuatu itu adalah kebenaran, sehingga kamu mampu mengucapkan ‘ya'  pada saat kamu mampu mengucapkan ‘tidak'.
"Apabila  keadaannya tidak seperti yang engkau yakini, menurut arah yang tidak  engkau setujui, atau untuk mengakui hanya karena orang lain berkata  kepadamu, ‘Berusahalah untuk memberikan pengakuan" sambil memaksa kamu  dengan ancaman, penindasan, atau paksaan; pada saat itu yang terjadi  padamu adalah pengakuan seorang budak yang tidak memiliki kemampuan  untuk berkehendak. Mengapa? Karena orang lainlah yang menghendaki atau  tidak menghendakinya." (Fi Rihab Ahl al-Bayt, 338-339). Dalam konteks  KPU, BPS dan P4B, sebenarnya secara tidak langsung sedang disadarkan  akan arti sebuah ucapan ya' pada saat rakyat Indonesia mampu mengucapkan  ‘tidak'. Secara singkat, Imam Husein berpesan: Taatilah seorang  pemimpin atau penguasa selama kamu yakin bahwa ketaatanmu kepadanya  didasarkan pada hati nuranimu, pada kebenaran yang kamu yakini. Bila ia  memaksamu untuk melakukan sesuatu yang tidak kamu yakini sebagai  kebenaran, wajib bagimu melakukan perlawanan. Imam Husein juga  menegaskan bahwa kamu juga wajib melawan penguasa -siapa saja dia: sejak  suami atau atasan kamu sampai kepada orang yang memegang pemerintahan  baik eksekutif, legislatif, atau judikatif- bila dia menentang sunnah  Rasulullah saw.
Masih  dalam khutbahnya yang sama, Imam Husein memperinci karakteristik  pemimpin yang menentang sunnah Rasulullah saw: Mereka menimbulkan  kerusakan melecehkan hukum, mendahulukan kekayaan, menghalalkan apa yang  diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkannya. Tugas seorang  pemimpin ialah memperbaiki rakyatnya secara ruhaniah dan jasmaniah.  Konon, menurut Rousseau, pada zaman dahulu manusia terus menerus  berkelahi karena masing-masing memperjuangkan kepentingannya. Akhirnya  mereka memilih pemimpin untuk menyelesaikan pertikaian di antara mereka.  Dibuatlah perjanjian sosial, le contrat social. Tetapi dalam perjalanan  sejarah, seringkali pemimpin malah merusak rakyatnya secara ruhaniah  dan jasmaniah. 
Melalui  internalisasi manusia menjadi produk kebudayaan, menurut P.L. Berger,  The Sacred canopy. Elements of Sociological Theory of Religion, proses  internalisasi Imam Husein , adalah penyerapan akan realitas dimana  datunya pernah mengatakan :"Husein minni wa ana min Husein" , bahwa  darah daging, keyakinan, ajaran dan perjuangan Husain adalah implikasi  serta implementasi dari datunya Muhammad, tetapi kemudian transformasi  struktur tadi menegaskan bahwa ajaran, keyakinan, risalah, serta  nubuwwah datunya Muhammad, hanya dapat diselamatkan dan ditegakkan oleh  dan dengan pribadi serta perjuangan Imam Husain, jadi ini yang menarik  dari filosofis "Ana min Husein" kesadaran Imam Husain ini yang menjadi  pilar serta cerminan yang dipostulatkan pada cultur (budaya) bagi para  penegak kebenaran, keadilan serta kesucian sepanjang masa dan zaman.  Dalam artian Islam dating dibawah oleh datunya Muhammad, dan dikekalkan  serta diabadikan oleh pengorbanan Husein. Sehingga analisis perjuangan  Imam adalah kehendak nafsu dan egoisme serta kecerobohan belaka dengan  sendirinya dapat dipatahkan dan dimentahkan, oleh akal dan logika  apapun.
1.	Mengangkat Potensi Transendensi
Dimensi  transendensi manusia mengungkapkan diri dalam kebebasan, kreatifitas,  hubungan antar pribadi, pengharapan dan pengalaman religius.  Transendensi adalah "menjadi lebih" bukan dalam konteks kuantitatif,  tetapi lebih dalam konteks kualitatif, suatu pendalaman, pemekaran, dan  penghayatan hidup atau suatu humanisasi. Hal ini terindikasikan ketika  Imam Husein mempersilahkan, para pengikutnya untuk meninggalkan beliau,  seraya berkata : "hari ini saat mereka tentara Yazid, sedang lelap dalam  kantuknya, dan hari cukup gelap, dibawah saksi bintang gemintang dan  rembulan, kuizinkan kalian untuk meninggalkan kami, tiada beban dan  kewajiban yang menyebabkan kalian menanggung dosa, atas kami  silakan...kalian meninggalkan kami, niscaya Allah dan Rasul senantiasa  melindungi kepergian kalian ...!
Dialog transendensi terjadi keluar dari bibir suci Imam Husein, namun apa yang didapati dari jawaban pengikutnya. "Tidak,.....tidak,...dan tidak...! Kami senantiasa selalu bersamamu Imam, maka muka serta wajah yang bagaimana kami harus menghadapkan dihadapan baginda Rasulillah, sementara kami membiarkan engkau wahai Imam rela dibunuh oleh ratusan tentara Yazid, pemengang agama yang korup. Transendensi versus doktrin Hitler berhadapan diantara kita, bandingkan keimanan dan kepatuhan pengikut Imam Husein dengan doktrin perang salib yang dikobarkan oleh Thariq ibn Ziyad, dengan cara membakar sampan dan perahu kaum muslimin, kemudian membakar semangat mereka kaum muslimin dengan tidak ada pilihan mati ditelan ombak atau ikut berjuang melawan kaum kuffar. Sehingga perjuangan yang dipaksakan, apalagi dengan iming serta janji palsu, akan lahir seperti apa yang kita alami saat ini, di bumi Indonesia yang berpenduduk ratusan juta ummat mengalami krisis kepemimpinan yang memiliki komitmen terhadap apa yang mereka janjikan, serta miskin akan pemimpin yang layak dan patut diteladani.
http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=27915:memotret-perjuangan-imam-husein-dalam-tragedi-karbala&catid=55:opini&Itemid=103


0 komentar to “Perjuangan Imam Husein dalam Tragedi Karbala”