Perspektif Perempuan Menginjak Usia 30
|
“Aku yakin tidak ada perempuan di dunia yang ingin sendirian selama hidupnya. Namun sendiri itu sendiri tidak berarti kita ditakdirkan untuk menderita selamanya. Menjadi lajang sama sekali bukan hal yang buruk? Kegagalan dalam hubungan membuatku belajar untuk mencintai diri sendiri. ’Better Single Than Sorry’, buku ini aku tulis berdasarkan pengalamanku. Masa lajang adalah waktu untuk bersenang-senang, belajar hal-hal baru, mengasah kedewasaan, bukan waktu untuk berputus asa, hargailah kesempatan itu!”
Sebagian besar individu yang belum berkeluarga atau belum memiliki pasangan hidup, memasuki usia tiga puluh adalah suatu hal yang paling ditakuti, terlebih bagi kaum hawa.
Mereka menganggap angka tiga puluh merupakan usia rentan atau titik kulminasi yang menentukan keberhasilan seseorang dalam menemukan pasangan hidup. Perempuan yang telah gagal menemukan pasangan idaman di usianya yang ke-30 harus mengubah pandangan sempitnya mengenai apa yang mereka lihat dari seorang pria.
Tatkala masih muda, tentunya ia punya banyak sekali kriteria mengenai pasangan yang sempurna. Namun tujuannya sekarang bukan lagi mencari pasangan sempurna tapi apa yang diharapkan dengan mengejar harapan yang tak berkesudahan itu, ini semua hanya akan membawa dirinya terbuai dengan angan-angan.
Seorang penulis Lori Gottlieb, 40 tahun mengatakan “seorang perempuan lajang yang sudah berumur seringkali melakukan kesalahan yang menyebabkan dirinya kehilangan kesempatan untuk menemukan kebahagiaan karena tidak berhasil mengubah ekspektasinya yang terlampau tinggi dan muluk. Para perempuan moderen telah dibodohi oleh tayangan-tayangan film Cinderella, program televisi seperti Friends atau buku novel seperti novel karangan Jane Austen yang akhirnya membuat mereka yakin bahwa kelak mereka akan menemukan pria pujaan yang mereka idamkan."
Sebaliknya, Gottlieb berpendapat bahwa perempuan harus mampu melihat jauh ke depan dan bersikap realistis, memandang pernikahan bukanlah sebuah “pelampiasan gairah“ melainkan suatu “kemitraan yang dibentuk untuk menjalankan sebuah usaha kecil-kecilan yang sifatnya non profit meski acapkali membosankan.”
Perempuan yang selalu berusaha menemukan lelaki idaman, dalam jangka panjang malah akan membuat diri mereka terjebak dalam kesendirian dan ketidakbahagiaan karena mereka telah melewatkan kesempatan memiliki patner usaha yang bagus.
Topik ini telah menjadi inspirasi masyarakat Hollywood setelah buku barunya “Marry Him: The Case for Settling for Mr Good Enough“ dijadikan sebuah judul film. Gottlieb yang adalah orang tua tunggal bagi anaknya menulis berdasarkan pengalaman pribadinya bahwa ia berharap seandainya ia telah memilih pria pilihan kedua bagi dirinya.
Apa yang menjadi impian Gottlieb, seperti halnya apa yang menjadi impian sang ibu dan neneknya yakni jatuh cinta kemudian menikah dan hidup bahagia selamanya. Keluarganya sangat mendambakan pernikahan ideal, namun karena keras kepala kita, akibatnya, kita malah menjauhi suatu hubungan tak terduga yang kita anggap menjenuhkan yang mungkin bisa membuat kita bahagia.
Ia pun segera menemukan pandangan baru bahwa apabila seseorang memiliki pemahaman yang lebih realistis tentang keadaan atau dampak tak langsung atas pemikiran tersebut maka ia mungkin akan melakukan hal yang berbeda.
Menurut Gottlieb, keberhasilan sebuah pernikahan bukanlah semata keberhasilan menciptakan hubungan romantis. Pendapat berbeda dari Profesor Cary Cooper, seorang psikolog di Universitas Lancaster yang mengatakan bahwa perempuan yang tidak mampu menemukan pria idaman seharusnya tidak mencari pria pilihan kedua sebagai alternatif penyelesaian masalah.
Bagi Cooper, tidak ada satu seorang pun baik pria atau perempuan yang sempurna, yang memiliki semua karakteristik yang diinginkan. Maka dari itu, adalah keajaiban apabila seseorang berhasil menemukan seorang pendamping hidup yang tepat dan memenuhi seluruh kriteria.
Sarannya bagi perempuan lajang agar mencari teman sebanyak-banyaknya. Carilah yang memiliki karakteristik yang paling mendekati terbaik. Kita perlu mencari tahu apa yang kita inginkan dan kemudian pergi mencari seseorang yang setidaknya memenuhi beberapa prioritas utama kita.
Terkadang Cooper merasa heran apabila ada perempuan yang mengatakan sedang menunggu datangnya seorang pria yang tepat, apakah mungkin itu hanya dalih untuk menghindar dari suatu hubungan atau menghindar dari berkomitmen terhadap suatu hubungan. Sesungguhnya bagi Cooper, menemukan seseorang bukanlah hal yang susah. (Chen Ching Ling/The Epoch Times)
|
Jennifer Aniston—Artis, 41 tahun
“Jika orang melihat diriku sebagai seorang perempuan kesepian yang berjuang untuk hidupnya, biarlah mereka berpikir demikian. Aku pikir tak seorangpun bisa menentukan rencana atau mengendalikan kehidupan cintanya. Kita harus bersedia menerima apa yang terjadi. Aku memiliki komunikasi yang sangat baik terhadap diriku sendiri, begitulah proses hidup seseorang. Aku punya pekerjaan, keluarga dan teman-teman yang hebat dan aku mencintai apa yang aku lakukan, cobalah menerima diri kita apa adanya.”
Vivian Hsu—Model, 34 tahun
“Jangan menyiksa diri, tak ada guna, hanya akan buang-buang waktu. Buatlah diri Anda berharga dengan melakukan sesuatu yang Anda suka seperti berbelanja. Aku cukup bahagia menjadi perempuan lajang. Aku bukan tipe perempuan yang mencari teman kencan semata hanya untuk berpacaran. Ada seorang penggemar pernah mengatakan kepadaku bahwa aku adalah tipe istri yang cocok untuknya. Aku tidak tahu apakah itu cinta atau bukan, yang terpenting aku menikmati menjadi perempuan yang mandiri.”
0 komentar to “Perspektif Perempuan Menginjak Usia 30”
=